Entri Populer

Sabtu, 17 Mei 2014

Guguran Musim Semi


Gerimis masih turun sejak tadi malam. Membawa suara rintikan yang terdengar seperti nyanyian sendu. Membawa aroma basah rumput di depan rumah dan wangi sakura yang mulai mekar di seberang jalan. Sedangkan matahari tersembunyi di balik mendung. Entahlah, aku tidak yakin, sudahkah sekarang musim semi ataukah masih musim dingin. Ini karena udara tak sedingin pada saat musim dingin, tapi terlalu dingin untuk disebut musim semi. Tapi hari ini adalah bulan Maret, di mana musim semi seharusnya datang.
Aku masih duduk di sini, di depan meja belajarku. Sembari menatap ke luar jendela. Menatap bulir-bulir gerimis yang—menurutku— indah. Mereka berkilau ketika cahaya lampu taman yang masih menyala mengenainya. Tiba-tiba saja, ada rasa sedih yang menyelimuti kalbuku. Aku tak dapat tidur dengan nyenyak, karena rasa ini terus mengusikku sejak tadi malam. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bangun, meski jam dinding yang tergantung di kamarku masih menunjukkan pukul empat pagi. Hingga akhirnya aku sadar telah duduk di sini selama empat jam tanpa melakukan apapun.
Aku melangkah ke luar meninggalkan pelataran rumahku. Dengan rok denim mini warna hitam dan dengan stoking warna senada. Lalu membuka payung kuning yang kugenggam di tangan kiriku. Angin dingin berhembus lembut membelai rambut panjangku yang terurai. Aku merapatkan sweaterku. Kemudian aku melangkah menyusuri jalanan di sekitar rumahku yang cukup lengang. Meski tak selengang suasana hatiku saat ini.
**********
“Eomma, nawaseo1!”, kataku riang, sembari berjalan menuju toko bunga di depan rumahku.
Ibu melihatku sekilas kemudian tersenyum. Sementara ia masih melayani pelanggan yang hendak membeli bunga. Aku duduk di kursi dekat jendela, kemudian menyandarkan punggungku pada kursi. Sembari menatap bunga sakura yang mulai bermekaran di seberang jalan, dan mencium wangi bunga azalea yang memenuhi setiap jendela yang ada di ruangan ini di ruangan ini.
”Appa2 belum pulang?”, tanyaku pada Ibu setelah pelanggan itu pergi.
“Belum. Kau tahu kan, seperti apa sibuknya dia?”, jawab Ibu.
Aku diam mendengar jawaban Ibu. Benar, ayah memang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hingga tak ada waktu untuk menemaniku. Beliau mungkin lebih memilih berkutat dengan kertas-kertas berharganya di kantor. Namun aku besyukur karena beliau tak mendapat jabatan tinggi layaknya direktur atau presdir. Setidaknya ayah masih memiliki ‘sedikit’ waktu untuk sekedar sarapan dan makan malam dengan kami.
***
“Appa, ku mohon biarkan aku membeli tas itu.”, rengekku sembari menunjukkan selembar kertas yang berisikan iklan.
“Sudah kubilang, tidak. Bukankah kau sudah memiliki banyak tas? Jangan bertindak boros Ae-Rin.”, tolak ayah, matanya masih sibuk mencermati setiap kata pada koran di tangannya.
“Tapi ini edisi terbatas, appa. Kapan lagi aku bisa membeli tas berlogo Girls Generation yang seperti ini? Hanya ada di awal musim panas ini, appa”,
“Minggu lalu, kau juga mengatakan hal yang sama untuk album mereka. Kenapa sekarang kau meminta appa untuk membelikan tas?”,
Aku terus merengek di samping Ayahku. Aku berusaha keras merayu ayah supaya aku dapat membeli tas berlogo tokoh favoritku. Aku yakin, lama kelamaan ayahku tak tahan dengan rengekan kekanak-kanakan yang terus menerus keluar dari mulutku. Benar saja, karena tak tahan dengan rengekanku, akhirnya ayah mengiyakan keinginanku.
***
Aku duduk di depan meja belajarku. Menatap selembar kertas berwarna putih yang sudah agak lusuh. Di atasnya tertera angka dua puluh lima, tepat di tengah dan ditulis dengan spidol warna merah. Membuat mataku semakin perih ketika menatapnya. Dua puluh lima untuk nilai Matematika. Ayah pasti marah kalau melihat nilai seperti ini ada pada daftar nilai harianku.
“Apa ini?”, tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangku dan mengambil kertas itu. Kedua mataku melebar ketika mengetahui siapa orang itu. ayah.
“Itu nilai Matematikaku, Appa.”, kataku pelan, pasrah jikalau Ayah akan mencecarku dengan omelan-omelannya.
Ayah menatap sekilas lembar ulangan harianku. Sedangkan aku hanya tertunduk pasrah. Batinku menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah ini. Namun, ketika suara datar ayah mengetuk gendang telingaku, batinku memberika suatu pertanda yang baik. Meski sebenarnya tak terlalu baik.
“Baiklah, Kau harus benar-benar berusaha keras. Kalau di ujian yang akan datang nilaimu masih sama, Appa akan menyita seluruh koleksi album Girls Generation mu.”, ancam Ayahku.
Meski sedikit kaget karena barang-barang itu yang menjadi taruhan, aku tak ingin protes kepada Ayah. Beliau mungkin akan marah jika aku berani protes. Saat ini, mungkin saja aku masih beruntung karena ayah tak mengancam untuk membuangnya atau mengancam sesuatu yang lebih buruk. Lagi pula ini memang salahku yang mendapatkan nilai sejelek ini.
***
 “Apakah tanda tangan mereka lebih penting sehingga Kau membolos, Ae-Rin?”, ayah mulai meninggikan suaranya.
“Aku tidak membolos, appa. Aku hanya pergi sebentar, kemudian kembali lagi ke sekolah. Aku janji, tak akan sampai dua jam.”, aku memohon.”Lagi pula, dua jam tak ada artinya jika setiap hari aku harus belajar sepuluh jam di sekolah. Ini membosankan.”, rengekku.
“Cukup Ae-Rin, appa sudah bosan mendengar rengekanmu yang kekanakan seperti ini! Bukankah appa sudah menuruti keinginanmu untuk membeli atribut seperti milik mereka? Apakah itu belum cukup?”, katanya dengan suara yang masih sama.”Pokoknya, kau tidak boleh pergi. Pikirkan tentang nilai-nilaimu yang mulai menurun itu!”.
Aku berjalan dengan langkah lebar menuju kamarku, kemudian mengunci pintu. aku melemparkan tubuhku ke atas ranjang. Menatap ke langit langit kamarku sembari berusaha menahan genangan air mata di ruang mataku agar tak meluap.
***
Aku masih setia duduk di depan komputer, meski jam dinding yang tergantung di dinding kamarku telah menunjukkan pukul satu dini hari. Setumpuk pekerjaan rumah yang harus kukerjakan membuatku tak ada waktu untuk sekedar mencari referensi untuk bahan membuat novel. Novel pertama yang akan kubuat. Namun, proses pengerjaannya selalu molor karena kesibukanku di sekolah dan setumpuk PR dari sekolah.
“Kenapa belum tidur?”, kata ayah yang tiba-tiba masuk ke kamarku.”Ini sudah malam Ae-Rin, bukankah esok kau harus pergi sekolah?”,
“Aku sedang membuat novel, appa. Besok sore aku harus mengirimnya ke kantor pos.”, balasku datar, sementara mataku masih terfokus pada layar komputer.
“Novel? Apa mengerjakan sesuatu seperti itu lebih penting dari pada belajar? Lihat saja nilai Matematikamu, apakah sudah cukup bagus?”, sindirnya.”Apa kau tak malu? Bagaimana bisa seorang calon dokter mendapatkan nilai dua puluh lima untuk mata pelajaran Matematika?!”.
Mendengar kata-kata itu, kupingku terasa panas, seolah tak terima dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku bangikit dari tempat dudukku dan berbalik menatap ayah.
“Cukup appa! Kenapa appa selalu seperti ini? Selalu menyuruhku belajar, belajar, dan belajar. Aku juga ingin pergi ke duniaku. Bukan dunia yang penuh angka seperti Matematika. Aku tidak suka matematika, dan aku tidak ingin menjadi dokter. Apa appa tidak tahu?!”, kataku dengan nada meninggi dan mata yang berkaca-kaca.”Oh, tentu saja appa tidak tahu, karena appa selalu sibuk dengan pekerjaan appa.”, lanjutku dengan nada suara yang masih meninggi.
Ayah terpaku mendengar kata-kataku. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan putri kecilnya. Karena belum pernah sebelumnya aku membentak dengan kata-kata seperti itu. Tapi sudah sepuluh tahun semnjak aku menginjak bangku sekolah, ayah selalu mengaturku ini dan itu. Bahkan untuk memilih cita-cita, aku tidak bisa. Semua ayah yang menentukan. Aku bukan gadis jenius yang akan selamanya mendapatkan nilai sempurna, dan aku bukan boneka milik ayah.
***
Aku berjalan melewati meja makan. Tepat ketika ayah baru saja duduk di kursinya. Aku sengaja untuk melewatkan sarapan, hanya karena tak ingin bertemu dengan ayah. Tak peduli meski ibu menahanku dan menyuruhku meminta maaf kepada ayah, aku tetap tak ingin sarapan bersamanya. Dadaku masih terasa sesak ketika mengingat kejadian malam itu. Kata-kata ayah waktu itu, masih terngiang di telingaku. Membuatku enggan untuk sekedar menyapa beliau. Entahlah, mungkin saja ayah benar dan aku yang salah. Tapi tetap saja aku masih tak terima dengan kata-katanya yang—kupikir—terlalu berlebihan.
Aku berjalan menuju halte bus. Entah mengapa, tiba-tiba saja sejak tadi padi perasaanku tak enak. Mungkinkah karena efek marah pada ayah? Apakah aku telah membuat dosa besar sehingga perasaanku tak enak seperti ini? Aku tak tahu. Sementara aku duduk menunggu bus tiba. Sepuluh menit berlalu, akhirnya bus yang kutunggu tiba. Tubuhku bergetar saat akan melangkah masuk ke dalam bus. Lagi-lagi, aku tak tahu mengapa. Rasa cemas kemudian datang, mengiringi setiap langkahku ketika berjalan di dalam bus. Bahkan ketika bus telah melaju dengan kencang, perasaan aneh ini pun tak juga hilang terbawa angin.
“OMO3! Ada kecelakaan!”, kejut seorang lelaki paruh baya yang duduk di depanku.
Aku terkejut, kemudian menengok melalui jendela di seberangku, tapi, tak terlalu jelas. Lagi pula ini bukan satu-satunya kecelakaan di Gangwon.
Aku melangkahkan kakiku memasuki pelataran rumahku. Sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Ku lihat toko bunga milik ibu juga sudah tutup. Padahal jam di pergelangan tangan kiriku masih menunjukkan pukul enam sore. Tak biasanya ibu menutup tokonya di jam seperti ini.
“Eomma, Nawaseo!”, teriakku sembari berjalan masuk rumah. Tak ada jawaban. Tepat ketika kakiku berpijak ke ruang tengah, telepon di rumahku berdering.
“Yoboseyo, Nuguseyo4?”, kataku begitu mendekatkan gangang telepon ke telingaku.
Ku dengar suara di seberang sana sedang terisak. Suara yang terdengar tak asing di telingaku. Jantungku berdebar cepat seiring dengan rasa cemas yang sedari tadi masih menyelimuti batinku. ibu, kenapa terisak seperti itu? Suaranya bergetar, seolah berusaha menahan tangis. Namun sepertinya, ibu sedang menangis sekarang. Ketika kata-katanya mulai merasuk ke dalam gendang telingaku, membuatku seolah kehilangan keseimbangan, dan ganggang telepon di tangaku terlepas. Kata-kata itu terdengar menakutkan.
***
Ae-Rin, ayahmu kecelakaan di Gangwoon. Datanglah ke rumah sakit, segera.
Aku berlari ke luar dari taksi yang baru saja kutumpangi. Menyusuri halaman yang begitu luas. Napasku tersengal. Bulir-bulir air mataku telah mengalir menerjang bukit pipi apelku. Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit. Kemudian langkahku terhenti ketika melihat ibu tengah berdiri dengan cemas di depan UGD, air matanya tengah mengalir dari sudut mata keriputnya. Aku menggigit bibir bawahku. Kemudian aku berjalan pelan mendekati ibu.
“Eomma, bagaimana keadaan Ayah?”, tanyaku cemas. Bahkan kedua kakiku bergetar.
Ibu tak menjawab. Beliau langsung memeluk tubuhku ketika bola mata hitamnya menangkap sosokku. Air matanya membasahi seragam sekolah biru yang masih melekat di tubuhku. Tangannya bergetar. Membuatku ikut bergetar. Lagi-lagi rasa cemas itu kembali menyelimuti hatiku. Kenapa Ibu menangis seperti ini? Ini membuatku takut. Takut sekali. Apa sebenarnya yang terjadi pada ayahku?
***
Aku duduk di meja belajarku bersama dengan buku-buku yang harus kupelajari. Karena sebentar lagi ujian bulan Juni yang menentukan kelulusan. Sayangnya, otakku sama sekali tak dapat menyerap semua materi yang kupelajari. Aku terus memikirkan ayah. Seminggu berlalu sejak kecelakaan itu, keadaan ayah berangsur membaik. Aku bersyukur karenanya. Namun, entah mengapa rasa takut dan cemas yang bertubi-tubi selalu saja datang menyerbu lubuk hatiku.setelah sejenak hilang dariku.
Ae-Rin, maafkan ayah. Ayah selalu sibuk, dan jarang meluangkan waktu untukmu. Ayah sering memarahimu. Maaf karena ayah membuatmu tertekan. Ayah sangat menyayangimu,nak.
Kata-kata ayah tadi sore di rumah sakit, membuatku cemas. Kenapa minta maaf? Tuhanpun tahu, aku yang lebih sering membuat kesalahan. Kata-kata ayah terdengar begitu memilukan. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa ayah akan selalu baik-baik saja. Tapi kenapa dia harus berkata seperti itu? Membuat rasa takut dan cemas itu datang bertubi-tubi.
***
“Ae-Rin, bangun sayang.”, Sayup-sayup terdengar suara wanita di dekat telingaku. Perlahan aku membuka kelopak mataku, dan mengerjap-ngerjapkan mereka.
Ketika aku membuka kelopak mataku, mereka menangkap sosok seorang wanita paruh baya tengah duduk di bibir ranjangku. Aku bangun dan menatapnya, kemudian menatap jam yang tergantung di dinding kamarku. Pukul dua dini hari. Aku kembali menatap sosok wanita paruh baya itu. Ia tersenyum manis padaku. Namun kedua bola mata cokelatnya berkaca-kaca.
“Imo5, kenapa datang sepagi ini?”, tanyaku dengan suara serak.
“Appa-mu sudah pulang.”, jawabnya sembari mengulum senyum, namun matanya terlihat berkaca-kaca. Mungkin karena dia terlalu senang.
Mendengar jawaban bibiku, aku langsung melompat dari ranjangku dan berlari ke luar kamarku. Aku berlari menuruni tangga sembari tersenyum senang. Langkahku melemah ketika kedua mataku menangkap sosok orang-orang yang datang. Mereka semua saudara kami. Namun entah mengapa jantungku berdebar begitu cepat, dan tanganku bergetar ketika melihat Ibu yang baru saja memasuki rumah dengan tangis. Bersamaan dengan paman-pamanku yang tengah menggotong seorang lelaki, yang ku tahu itu ayahku. Tapi mengapa ayah di gotong? Mengapa tidak naik kursi roda?
Aku berjalan mendekati Ibu yang baru saja masuk bersamaan dengan ayah. Ia menatapku begitu menyadari aku telah berdiri di sampingnya. Begitupun semua orang di ruang ini, mereka menatapku. Meski aku tak tahu apa arti tatapan itu sebenarnya. Kedua mata ibu memerah karena terlalu banyak menangis mencengkram kedua bola mata cokelatku yang masih lelah.
“Eomma, kenapa menangis? Bukankah Appa sudah sembuh?”, tanyaku pelan. Ibu terdiam dan masih menatapku. Air matanya, perlahan menetes.”Eomma, kenapa menangis?”, ulangku, karena Ibu tak juga menjawab. Air matanya semakin menjadi, membuat jantungku berdebar semakin cepat. Rasa takut itu kembali mendera batinku. Tiba-tiba saja ibu memelukku.
“Ae-Rin, appa-mu benar-benar sudah pulang.”, katanya di sela isak tangis.
“Iya, eomma. Tapi kenapa eomma menangis? Bukankah seharusnya kita senang?”, tanyaku.
“Appa, sudah pulang ke pangkuan Tuhan, sayang.”, jawab ibu dengan suara terisak, dan tangisnya pun kembali pecah.
Serasa mendengar gemuruh halilintar yang maha dahsyat membelah cakrawala. Merobek gendang telingaku, dan membuat jantungku seolah hampir terlepas dari tempatnya. Tubuhku melemas. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Ayah ‘pulang ke pangkuan Tuhan’? Tanpa sadar, bulir-bulir air bening meleleh keluar dari gudang air mataku. Aku menangis dalam pelukan Ibuku.
Aku duduk bersimpuh di dekat sebuah peti  mati di ruang tengah. Kedua mataku masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, begitupun otakku masih belum bisa mencerna apa yang sekarang terjadi. Di sana tengah berbaring jasad seorang pria paruh baya. Garis-garis di wajahnya membuatnya terlihat lebih tua –ah, tidak—mungkin aku yang tak menyadari bahwa ayahku selalu bertambah tua setiap harinya, dan aku malah menambah bebannya dengan tingkah kekanakanku. Saat ini, sosok itu tengah terbaring dengan mata terpejam di dalam sebuah peti mati. Tubuhnya yang kaku terbalut kain berwarna putih.
“Appa, ini Ae-Rin.”, kataku dengan suara parau, karena tengah berusaha menahan tangis.”Kenapa appa pergi secepat ini? Aku masih lima belas tahun, tapi kenapa appa meninggalkanku? Apakah Ae-Rin nakal?”, bibirku bergetar sehingga aku menggitnya untuk sekedar menahannya bergetar. Aku tak ingin terlihat lebih menyedihkan.” Maaf, appa, Ae-Rin yang salah. Tak seharusnya Ae-Rin marah. Tak seharusnya Ae-Rin membentak appa seperti itu.”, air mataku kembali menetes.”Apakah Appa sudah lelah mengurus Ae-Rin? Ku mohon kembalilah appa. Ae-Rin janji akan berbakti pada appa.”, Air mataku mengalir semakin deras. Tak peduli seberapa kuat aku menahannya, mereka tetap saja mengalir dengan derasnya.
“Sudahlah, iklaskan saja ayahmu pergi, sayang. Berdo’alah agar Tuhan menyayanginya di sana.”, Kata bibi Anne yang kemudian mengelus lembut pundakku.
***********
Hujan bulan Maret, adalah sisa dari musim dingin. Sebuah payung kuning menaungiku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dengan serasah daun maple yang basah karena hujan. Sepanjang perjalanan, tercium aroma krisan yang menyeruak ke dalam rongga hidungku. Sedangkan pohon-pohon di sekitarku telah menampakkan dauh mudanya. Begitupun bunga-bunga kecil di tepian jalan setapak ini. Aku masih melangkah, hingga akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang yang amat luas. Sejauh mata memandang, hanya terlihat gundukan tanah yang cukup tinggi dan bebatuan nisan.
Aku duduk bersimpuh di tepi gundukan tanah yang diatasnya telah dipenuhi rerumputan yang tumbuh subur dan indah. Kemudian membersihkan dedaunan kering yang basah terkena embun di atasnya.
“Appa, bagaimana kabarmu di sana? Apakah baik-baik saja? Hari ini, sepertinya sudah musim semi. Sayang sekali, kami tak bisa melewatinya dengan appa. Apa kau ingat saat kita pergi ke pantai tahun lalu? Hari itu begitu menyenagkan. Tapi, jikalau aku tahu hari itu adalah hari terakhir kita pergi bersama, aku tak akan menyia-nyiakan waktuku untuk berdebat dengan appa. Tak seharusnya aku seperti itu, seharusnya aku lebih menghargai waktuku dengan ayah. Appa, kami selalu merindukanmu. Setiap hari aku selalu berdo’a untuk appa. Maafkan Ae-Rin, karena belum bisa menuruti kemauan appa. Ae-Rin banyak membantah.”, air mataku mulai menetes.” Ae-Rin tidak ingin menjadi seorang putri yang durhaka pada appa. Ae-Rin tahu, appa sangat menyayangi Ae-Rin, dan Ae-Rin juga sangat menyayangi ayah.”, kini air mata yang tadinya hanya berupa tetesan, telah mengalir deras di pipiku.
Aku bangkit dan membalikkan tubuhku. Aku melangkahkan kakiku, bersiap meninggalkan pemakaman ini. Sebelumnya, ku hapus terlebih dahulu bulir-bulir air mata yang tersisa di bukit pipi apelku. Kemudian berjalan meninggalkan pemakaman ini. Namun sebelum itu, aku meletakkan setangkai dandelion yang kuperoleh di sisi jalan setapak yang ku lewati. Meski bukan musim gugur, aku tidaak tahu mengapa bisa ada dandelion di musim semi.
Hari ini, tepat setahun kematian Ayahku. Seperti hari ketika ayah datang ke rumah dengan tubuh kaku. Bersamaan dengan angin musim semi yang berhembus dingin. Yang mungkin lebih dingin dari tongkat peri es. Kala itu, bagiku, bukan musim semi yang datang, melainkan musim gugur. Saat di mana bunga sakura mulai bermekaran dan pepohonan ceri mulai menampakkan daunnya. Namun di lubuh hatiku yang paling dalam, aku merasakan guguran daun maple yang jatuh dan bulir-bulir dandelion mengenai tubuhku. Kemudian tersibak oleh angin musim gugur yang mulai dingin. Aku menyebutnya, guguran musim semi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar