Geum-Young berjalan di antara rak-rak yang menjulang tinggi. Di
tangannya tengah bertengger beberapa buku yang—sepertinya—membuat Geum-Young
kesulitan menjangkau rak-rak yang lebih tinggi. Ia berusaha berjinjit dan
mengulurkan tangannya lebih tinggi.
“Tubuhmu terlalu pendek untuk menjangkau rak itu.”, celetuk seorang
lelaki di belakangnya.
Geum-Young menoleh. Kedua matanya menangkap sosok lelaki berperawakan
tinggi dengan rambut cokelat ikal. Lelaki yang tidak lain adalah Seung-Ho.
“Astaga! Kang Seung Ho.”,
Geum-Young terperanjat melihat sosok yang kini tengah menatapnya.
Dia—Kang Seung Ho—menatapnya. Sungguh, jangtungnya tengah melompat kegirangan. Sudah
berapa lama ia tak melihat lelaki itu?
“Kau seperti orang gila.”, kata Seung-Ho datar. Kemudian ia berbalik
dan melangkah menjauh.
Seketika itu juga, lamunan Geum-Young buyar. Ada rasa kecewa yang
,menyelinap di kalbunya. ‘Apakah dia tak mengenaliku?’
Geum-Young mengerjapkan kelopak mata cantiknya beberapa kali. Seolah
memastikan yang di depannya itu adalah Kang Seung-Ho. Kang seung-Ho yang ia
kenal. Matanya kembali terpaku pada sosok di hadapannya ketika lelaki itu
mengulurkan tangannya menuju rak yang sama seperti yang ia tuju.
Meski tujuh tahun telah berlalu, Geum-Young sama sekali tak pernah
melupakan sosok yang kini tengah berdiri di depannya. Ia begitu yakin, karena
pita biru itu. Karena pita itu, ia yang membuatnya untuk Seung-Ho. Sebagai
hadiah tahun baru. Namun sepertinya, ingatan itu hanya milik Geum-Young.
“Apa kau sedang terpesona dengan ketampananku, nona?”, tanya Seung-Ho
dengan penekanan di akhir kalimatnya, yang sontak membuat Geum-Young tersadar
dari lamunannya
“T-tidak. Kenapa aku harus terpesona.”, katanya gugup. Kemudian
menyahut sebuah buku di tangan Seung-Ho.”Terimakasih atas bantuanmu, tuan.”,
lanjut Geum-Young dengan sedikit ledekan.
Geum-Young berbalik dan berjalan mejauh. Sejak hari itu—hari
pertamanya melihat Seung-Ho, lagi—Geum-Young menyimpan ribuan kata yang hendak
ia lontarkan pada lelaki itu. Tapi, ia terpaksa harus menahannya kembali.
Karena Seung-Ho tak melihatnya sebagai orang yang ia kenal, tapi orang lain.
™
Angin dingin khas musim panas berhembus begitu lembut. Bercumbu dengan
keramaian malam kota Seoul. Membawa aroma makanan milik para pedagang di
pinggiran jalan. Malam belum begitu larut ketika Geum-Yong melangkahkan kakinya
keluar dari bus yang ia tumpangi. Kakinya kembali melangkah, menyusuri trotoar
di sepanjang jalanan kota. Ia menengadahkan kepalanya. Menatap gelapnya langit
malam yang begitu pekat. Tanpa taburan bintang dan senyum sang bulan.
“Ah, aku merindukanmu, bintang.”, gumam Geum-Young. Kedua kakinya
masih melangkah lurus. Namun, kepalanya lebih suka menunduk dan menatap trotoar
yang ia pijak.
DUKK! Geum-Young terhuyung ke belakang. Hampir saja ia terjatuh, namun
kedua kakinya cukup kuat untuk menahan tubuh mungilnya. Tak sengaja ia menabrak
seorang pria tua. Membuat kantung plastik –milik orang itu—dan beberapa barang
di dalamnya jatuh di atas trotoar
“Chosongeyo, Ahjussi.[1]”, katanya sembari menundukkan seperempat tubuhnya beberapa kali pada
pria paruh baya di depannya. Kemudian ia memunguti barang-barang yang tercecer
di bawahnya.
Geum-Young menyerahkan kembali kantung plastik itu. Sedangkan pria
paruh baya itu hanya tersenyum pada Geum-Young, kemudian berlalu. Kantung
plastik yang dibawanya bergoyang-goyang karena tertiup angin yang semakin
kencang. Geum-Young menatap lelaki itu hingga sosoknya menghilang di balik
sedan hitam yang terparkir di depan sebuah apotek, tak jauh dari tempat
Geum-Young berdiri.
“Aiiissh, Choi Geum-Young, apa yang sedang kau pikirkan?”, tanyanya
pada diri sendiri. Kemudian ia kembali berjalan menjauhi tempat itu.
Tiba-tiba saja sebuah ingatan berkelebat di benaknya. Ia merasa pernah
melihat pria itu sebelumnya. Entahlah, Geum-Young sendiri tidak begitu yakin.
Ia mencoba mengingatnya kembali. Berusaha mengorek lebih dalam ingatannya.
Matanya melebar begitu mengingat lelaki itu.
Geum-Young berdiri di samping tembok yang tak jauh dari kantor guru.
Ia menyembulkan kepalanya, tapi menahan tubuhnya untuk tetap bersembunyi di
balik tembok itu. Matanya tak henti-hentinya mengawasi pintu ruang guru.
Tiba-tiba saja, seorang pria paruh baya keluar dari ruangan itu bersama dengan
seorang anak lelaki di sampingnya. Anak itu menunduk lesu. Sedangkan pria paruh
baya itu mendekapnya dengan sebelah tangan.
Geum-Young terus menatap kedua orang itu hingga akhirnya mereka
menghilang di ujung koridor. Geum-Young berlari dari tempatnya berdiri. Ia
berlari ke arah kedua orang tadi berjalan, hingga akhirnya kedua kakinya
melangkah ke halaman sekolah yang luas. Matanya kembali menangkap sosok kedua
orang itu, hendak memasuki sedan hitam yang terparkir tak jauh dari tempatnya
berdiri.
“Seungho-ya[2]! Eodiga[3]?”, teriaknya. Membuat anak laki-laki itu menoleh ke arahnya. Anak itu
tampak terkejut melihat Geum-Young. Kemudian ia berlari kecil ke arahnya.
“Aku mau jalan-jalan sebentar. Kau tidak boleh ikut denganku,
Geum-Young.”, jawab Seung-Ho polos.
“Jalan-jalan ke mana? Apakah lama?”, tanya Geum-Young lagi.
“Entahlah, tapi kau harus menungguku sampai aku pulang.”, jawab
Seung-Ho. Kemudian ia mengeluarkan sebuah tuts piano dari dalam sakunya.”Maaf,
aku sudah menyembunyikan ini darimu. Sekarang aku kembalikan padamu.”, katanya
sembari mengulurkan benda itu pada Geum-Young.
Geum-Young masih berdiri di sana. Menatap mobil yang ditumpangi oleh
Seung-Ho hingga menghilang dari pandangannya. Seung-ho bilang, dia hanya
jalan-jalan. Tapi entah mengapa Geum-Young tidak merasa sepertinya Seung-Ho
berbohong kepadanya. Hingga akhirnya ia menyadari, Seung-Ho tidak pergi
jalan-jalan. Karena ia tak kunjung datang menemuinya.
™
Hembusan angin musim panas yang hangat membelai lembut rerumputan yang
ada di halaman belakang sekolah. Menerbangkan dedaunan kering yang saling
bergesekan. Membawa aroma manis buah murbei yang sudah mulai masak.
Geum-Young duduk di sebuah kursi di bawah pohon fig. Tangan
kanannya nampak sedang menyuapkan donat ke dalam mulut. Sedangkan tangan
kirinya memegang sebuah buku tebal yang berisi kalimat-kalimat yang panjang.
Matanya asik memelototi setiap kata pada bukunya. Kali ini ia menatap ke arah
jalan yang tak begitu jauh darinya. Lagi-lagi ia menangkap sosok itu—Kang
Seung-Ho—bersama dengan seorang gadis. Jelas-jelas Geum-Young mengenali gadis
yang saat ini tengah berjalan bersama Seung-Ho. Ia sering sekali melihat mereka
berdua berjalan bersama. Tapi ia sama sekali tak tahu apa-apa mengenai mereka
berdua.
“Ada apa dengan mereka berdua? Sepertinya mereka sangat dekat.”,
katanya sembari membersihkan remah-remah donat yang menempel di bibirnya.
Geum-Young terus memperhatikan kedua orang itu. Hingga ia menyadari
bahwa mata elang Seung-Ho tengah menatap ke arahnya. Geum-Young salah tingkah.
Buru-buru ia membereskan bekal makan siangnya dan berjalan meninggalkan tempat
itu. Ia terkejut begitu mendegar seseorang memanggilnya.
“Yak! Kenapa kau selalu menatapku seperti itu?”, tanya orang itu.
Geum-Young tahu siapa orang itu, tanpa ia harus membalikkan badannya terlebih
dahulu.
“A-apa maksudmu dengan ‘menatap seperti itu’?”, tanya Geum-Young
setelah ia berbalik. Jelas- jelas ia terlihat gugup.
“Ck, setiap kali kau melihatku, kau selalu menatapku seperti itu.
Seakan terpaku. Apa kau menyukaiku?”, tanya Seung-Ho lantang.
“Jangan terlalu percaya diri seperti itu. Bagaimana bisa aku
menyukaimu?”, elak Geum-Young. Ia merasakan, saat ini pipinya sedang memanas.
“Minho-ya, apa yang sedang kau lakukan di sini?”, celetuk
seorang gadis yang tiba-tiba menepuk bahu Seung-Ho.
Kami—aku dan Seung-Ho—menoleh. Gadis yang kudapati sering bersama
Seung-Ho kini tengah berdiri di sampingnya. Kedua tangannya melingkar di lengan
panjang Seung-Ho, membuatku menaikkan sebelah alisku. Kenapa dia memanggilnya
Minho?
“Minho?”, tanyaku tak yakin. Berusaha memastikan apa yang baru saja ia
dengar.
“B-bukankah dia Kang Seung-Ho?”, Geum-Young memastikan lagi.
“Apa kau tak melihat ID di rompiku? Namaku Minho. Bukan Seung-Ho.”,
jelas Seung-Ho sembari menunjuk ID di rompinya.
Kedua mata Geum-Young mengikuti jari telunjuk Seung-Ho. Benar, di sana
tertulis Kang Min-Ho. Bagaimana bisa? Bukankah waktu itu Ia melihatnya sendiri,
pita biru yang tergantung di tas sekolah lelaki itu. Geum-Young hanya
membuatnya untuk Seung-Ho. Tapi kenapa orang di depannya yang baru saja ia
ketahui bernama Min-Ho bisa memiliki benda itu. Geum-Young tak sadar telah
menatap ID milik lelaki itu sangat lama, dengan tatapan tak percaya.
“Hei, jangan menatap kekasihku seperti itu.”, kata gadis di samping
Min-Ho.
Nada bicaranya biasa saja, datar dan tak begitu lantang. Namun, entah
mengapa gendang telinga Geum-Young bergetar begitu kencang. Seolah baru saja
terdengar suara yang begitu luar biasa mengejutkan. Matanya melebar. Lidahnya
kelu. Ini pasti salah. Seung-Ho yang ku kira adalah Min-Ho, kekasih Hee Jin.
“Kau tak mengingatku?”, tanya Geum-Young tiba-tiba. Sorot matanya
berubah. Tak ada senyuman yang tergambar ketika ia menatap mata lelaki itu.
“Apa maksudmu?”, tanya Hee Jin yang mulai tak sabar dengan sikap
Geum-Young.”Sudahlah, jangan mengganggunya lagi.”, tambahnya, kemudian menarik
lengan Min-Ho dan menjauh dari tempat itu.
Sementara Geum-Young masih berdiri di sana dengan posisi yang sama.
Matanya menatap kepergian dua orang itu. Otaknya masih belum mampu menerima apa
yang dikatakan Hee-Jin. Min-Ho? Kekasih? Tunggu dulu, tapi mengapa ia harus
kaget ketika mendengar kata ‘kekasih’? Bukankah tak ada hubungan yang lebih
dari sekedar sahabat di antara mereka berdua? Entahlah, yang jelas ia yakin
bahwa orang yang selama ini dikiranya Seung-Ho benar-benar Seung-Ho. Ia bahkan
dapat mengenali Seung-Ho hanya dengan melihat bayangannya di tangga. Tapi,
bagaimana bisa orang itu mengatakan bahwa dia adalah Min-Ho? Apakah dia hilang
ingatan.
Tiba-tiba
saja, Geum-Young merasa rumput-rumput di taman itu bergoyang seolah sedang
menertawakan dirinya. Menertawakan kebodohannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar