Entri Populer

Sabtu, 27 September 2014

Pita Biru Part 2



Geum-Young berjalan di antara rak-rak yang menjulang tinggi. Di tangannya tengah bertengger beberapa buku yang—sepertinya—membuat Geum-Young kesulitan menjangkau rak-rak yang lebih tinggi. Ia berusaha berjinjit dan mengulurkan tangannya lebih tinggi.
“Tubuhmu terlalu pendek untuk menjangkau rak itu.”, celetuk seorang lelaki di belakangnya.
Geum-Young menoleh. Kedua matanya menangkap sosok lelaki berperawakan tinggi dengan rambut cokelat ikal. Lelaki yang tidak lain adalah Seung-Ho.
 “Astaga! Kang Seung Ho.”,
Geum-Young terperanjat melihat sosok yang kini tengah menatapnya. Dia—Kang Seung Ho—menatapnya. Sungguh, jangtungnya tengah melompat kegirangan. Sudah berapa lama ia tak melihat lelaki itu?
“Kau seperti orang gila.”, kata Seung-Ho datar. Kemudian ia berbalik dan melangkah menjauh.
Seketika itu juga, lamunan Geum-Young buyar. Ada rasa kecewa yang ,menyelinap di kalbunya. ‘Apakah dia tak mengenaliku?’
Geum-Young mengerjapkan kelopak mata cantiknya beberapa kali. Seolah memastikan yang di depannya itu adalah Kang Seung-Ho. Kang seung-Ho yang ia kenal. Matanya kembali terpaku pada sosok di hadapannya ketika lelaki itu mengulurkan tangannya menuju rak yang sama seperti yang ia tuju.
Meski tujuh tahun telah berlalu, Geum-Young sama sekali tak pernah melupakan sosok yang kini tengah berdiri di depannya. Ia begitu yakin, karena pita biru itu. Karena pita itu, ia yang membuatnya untuk Seung-Ho. Sebagai hadiah tahun baru. Namun sepertinya, ingatan itu hanya milik Geum-Young.
“Apa kau sedang terpesona dengan ketampananku, nona?”, tanya Seung-Ho dengan penekanan di akhir kalimatnya, yang sontak membuat Geum-Young tersadar dari lamunannya
“T-tidak. Kenapa aku harus terpesona.”, katanya gugup. Kemudian menyahut sebuah buku di tangan Seung-Ho.”Terimakasih atas bantuanmu, tuan.”, lanjut Geum-Young dengan sedikit ledekan.
Geum-Young berbalik dan berjalan mejauh. Sejak hari itu—hari pertamanya melihat Seung-Ho, lagi—Geum-Young menyimpan ribuan kata yang hendak ia lontarkan pada lelaki itu. Tapi, ia terpaksa harus menahannya kembali. Karena Seung-Ho tak melihatnya sebagai orang yang ia kenal, tapi orang lain.
Angin dingin khas musim panas berhembus begitu lembut. Bercumbu dengan keramaian malam kota Seoul. Membawa aroma makanan milik para pedagang di pinggiran jalan. Malam belum begitu larut ketika Geum-Yong melangkahkan kakinya keluar dari bus yang ia tumpangi. Kakinya kembali melangkah, menyusuri trotoar di sepanjang jalanan kota. Ia menengadahkan kepalanya. Menatap gelapnya langit malam yang begitu pekat. Tanpa taburan bintang dan senyum sang bulan.
“Ah, aku merindukanmu, bintang.”, gumam Geum-Young. Kedua kakinya masih melangkah lurus. Namun, kepalanya lebih suka menunduk dan menatap trotoar yang ia pijak.
DUKK! Geum-Young terhuyung ke belakang. Hampir saja ia terjatuh, namun kedua kakinya cukup kuat untuk menahan tubuh mungilnya. Tak sengaja ia menabrak seorang pria tua. Membuat kantung plastik –milik orang itu—dan beberapa barang di dalamnya jatuh di atas trotoar
Chosongeyo, Ahjussi.[1]”, katanya sembari menundukkan seperempat tubuhnya beberapa kali pada pria paruh baya di depannya. Kemudian ia memunguti barang-barang yang tercecer di bawahnya.
Geum-Young menyerahkan kembali kantung plastik itu. Sedangkan pria paruh baya itu hanya tersenyum pada Geum-Young, kemudian berlalu. Kantung plastik yang dibawanya bergoyang-goyang karena tertiup angin yang semakin kencang. Geum-Young menatap lelaki itu hingga sosoknya menghilang di balik sedan hitam yang terparkir di depan sebuah apotek, tak jauh dari tempat Geum-Young berdiri.
“Aiiissh, Choi Geum-Young, apa yang sedang kau pikirkan?”, tanyanya pada diri sendiri. Kemudian ia kembali berjalan menjauhi tempat itu.
Tiba-tiba saja sebuah ingatan berkelebat di benaknya. Ia merasa pernah melihat pria itu sebelumnya. Entahlah, Geum-Young sendiri tidak begitu yakin. Ia mencoba mengingatnya kembali. Berusaha mengorek lebih dalam ingatannya. Matanya melebar begitu mengingat lelaki itu.
Geum-Young berdiri di samping tembok yang tak jauh dari kantor guru. Ia menyembulkan kepalanya, tapi menahan tubuhnya untuk tetap bersembunyi di balik tembok itu. Matanya tak henti-hentinya mengawasi pintu ruang guru. Tiba-tiba saja, seorang pria paruh baya keluar dari ruangan itu bersama dengan seorang anak lelaki di sampingnya. Anak itu menunduk lesu. Sedangkan pria paruh baya itu mendekapnya dengan sebelah tangan.
Geum-Young terus menatap kedua orang itu hingga akhirnya mereka menghilang di ujung koridor. Geum-Young berlari dari tempatnya berdiri. Ia berlari ke arah kedua orang tadi berjalan, hingga akhirnya kedua kakinya melangkah ke halaman sekolah yang luas. Matanya kembali menangkap sosok kedua orang itu, hendak memasuki sedan hitam yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Seungho-ya[2]! Eodiga[3]?”, teriaknya. Membuat anak laki-laki itu menoleh ke arahnya. Anak itu tampak terkejut melihat Geum-Young. Kemudian ia berlari kecil ke arahnya.

“Aku mau jalan-jalan sebentar. Kau tidak boleh ikut denganku, Geum-Young.”, jawab Seung-Ho polos.
“Jalan-jalan ke mana? Apakah lama?”, tanya Geum-Young lagi.
“Entahlah, tapi kau harus menungguku sampai aku pulang.”, jawab Seung-Ho. Kemudian ia mengeluarkan sebuah tuts piano dari dalam sakunya.”Maaf, aku sudah menyembunyikan ini darimu. Sekarang aku kembalikan padamu.”, katanya sembari mengulurkan benda itu pada Geum-Young.
Geum-Young masih berdiri di sana. Menatap mobil yang ditumpangi oleh Seung-Ho hingga menghilang dari pandangannya. Seung-ho bilang, dia hanya jalan-jalan. Tapi entah mengapa Geum-Young tidak merasa sepertinya Seung-Ho berbohong kepadanya. Hingga akhirnya ia menyadari, Seung-Ho tidak pergi jalan-jalan. Karena ia tak kunjung datang menemuinya.
Hembusan angin musim panas yang hangat membelai lembut rerumputan yang ada di halaman belakang sekolah. Menerbangkan dedaunan kering yang saling bergesekan. Membawa aroma manis buah murbei yang sudah mulai masak.
Geum-Young duduk di sebuah kursi di bawah pohon fig. Tangan kanannya nampak sedang menyuapkan donat ke dalam mulut. Sedangkan tangan kirinya memegang sebuah buku tebal yang berisi kalimat-kalimat yang panjang. Matanya asik memelototi setiap kata pada bukunya. Kali ini ia menatap ke arah jalan yang tak begitu jauh darinya. Lagi-lagi ia menangkap sosok itu—Kang Seung-Ho—bersama dengan seorang gadis. Jelas-jelas Geum-Young mengenali gadis yang saat ini tengah berjalan bersama Seung-Ho. Ia sering sekali melihat mereka berdua berjalan bersama. Tapi ia sama sekali tak tahu apa-apa mengenai mereka berdua.
“Ada apa dengan mereka berdua? Sepertinya mereka sangat dekat.”, katanya sembari membersihkan remah-remah donat yang menempel di bibirnya.
Geum-Young terus memperhatikan kedua orang itu. Hingga ia menyadari bahwa mata elang Seung-Ho tengah menatap ke arahnya. Geum-Young salah tingkah. Buru-buru ia membereskan bekal makan siangnya dan berjalan meninggalkan tempat itu. Ia terkejut begitu mendegar seseorang memanggilnya.
“Yak! Kenapa kau selalu menatapku seperti itu?”, tanya orang itu. Geum-Young tahu siapa orang itu, tanpa ia harus membalikkan badannya terlebih dahulu.
“A-apa maksudmu dengan ‘menatap seperti itu’?”, tanya Geum-Young setelah ia berbalik. Jelas- jelas ia terlihat gugup.
“Ck, setiap kali kau melihatku, kau selalu menatapku seperti itu. Seakan terpaku. Apa kau menyukaiku?”, tanya Seung-Ho lantang.
“Jangan terlalu percaya diri seperti itu. Bagaimana bisa aku menyukaimu?”, elak Geum-Young. Ia merasakan, saat ini pipinya sedang memanas.
“Minho-ya, apa yang sedang kau lakukan di sini?”, celetuk seorang gadis yang tiba-tiba menepuk bahu Seung-Ho.
Kami—aku dan Seung-Ho—menoleh. Gadis yang kudapati sering bersama Seung-Ho kini tengah berdiri di sampingnya. Kedua tangannya melingkar di lengan panjang Seung-Ho, membuatku menaikkan sebelah alisku. Kenapa dia memanggilnya Minho?
“Minho?”, tanyaku tak yakin. Berusaha memastikan apa yang baru saja ia dengar.
“Ya, Kang Minho. Wae[4]?”, tanya gadis itu sinis.
“B-bukankah dia Kang Seung-Ho?”, Geum-Young  memastikan lagi.
“Apa kau tak melihat ID di rompiku? Namaku Minho. Bukan Seung-Ho.”, jelas Seung-Ho sembari menunjuk ID di rompinya.
Kedua mata Geum-Young mengikuti jari telunjuk Seung-Ho. Benar, di sana tertulis Kang Min-Ho. Bagaimana bisa? Bukankah waktu itu Ia melihatnya sendiri, pita biru yang tergantung di tas sekolah lelaki itu. Geum-Young hanya membuatnya untuk Seung-Ho. Tapi kenapa orang di depannya yang baru saja ia ketahui bernama Min-Ho bisa memiliki benda itu. Geum-Young tak sadar telah menatap ID milik lelaki itu sangat lama, dengan tatapan tak percaya.
“Hei, jangan menatap kekasihku seperti itu.”, kata gadis di samping Min-Ho.
Nada bicaranya biasa saja, datar dan tak begitu lantang. Namun, entah mengapa gendang telinga Geum-Young bergetar begitu kencang. Seolah baru saja terdengar suara yang begitu luar biasa mengejutkan. Matanya melebar. Lidahnya kelu. Ini pasti salah. Seung-Ho yang ku kira adalah Min-Ho, kekasih Hee Jin.
“Kau tak mengingatku?”, tanya Geum-Young tiba-tiba. Sorot matanya berubah. Tak ada senyuman yang tergambar ketika ia menatap mata lelaki itu.
“Apa maksudmu?”, tanya Hee Jin yang mulai tak sabar dengan sikap Geum-Young.”Sudahlah, jangan mengganggunya lagi.”, tambahnya, kemudian menarik lengan Min-Ho dan menjauh dari tempat itu.
Sementara Geum-Young masih berdiri di sana dengan posisi yang sama. Matanya menatap kepergian dua orang itu. Otaknya masih belum mampu menerima apa yang dikatakan Hee-Jin. Min-Ho? Kekasih? Tunggu dulu, tapi mengapa ia harus kaget ketika mendengar kata ‘kekasih’? Bukankah tak ada hubungan yang lebih dari sekedar sahabat di antara mereka berdua? Entahlah, yang jelas ia yakin bahwa orang yang selama ini dikiranya Seung-Ho benar-benar Seung-Ho. Ia bahkan dapat mengenali Seung-Ho hanya dengan melihat bayangannya di tangga. Tapi, bagaimana bisa orang itu mengatakan bahwa dia adalah Min-Ho? Apakah dia hilang ingatan.
Tiba-tiba saja, Geum-Young merasa rumput-rumput di taman itu bergoyang seolah sedang menertawakan dirinya. Menertawakan kebodohannya.


Maafkan aku, Paman[1] (Formal)
Panggilan untuk orang dekat(berakhiran huruf vokal)[2]
Mau ke mana[3]
Kenapa[4]

Minggu, 15 Juni 2014

Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan saat ini
Ada banyak hal yang melintas dalam benakku
Tentang ini, itu, mereka, dia, kamu, semuanya
Hingga akhirnya aku tak bisa bersuara
Karena tenggorokanku tersumpal oleh beban
Beban yang kini menindihku

Sabtu, 17 Mei 2014

Tersenyumlah Naomi


Tersenyumlah, Naomi
Gadis itu masih di sana. Bersimpuh di depan sebuah makam. Makam yang masih basah, beraroma tanah segar. Ia bersandar di samping nisan makam itu. Butiran-butiran bening menetes dari gudang air matanya.Membasahi bukit pipinya yang mungil.Bibirnya bergetar.Tangannya meremas ujung gaun hitamnya.Perlahan, sebelah tangannya mengelus tanah makam itu.
“Secepat ini kah kau pergi?” Gadis itu bergumam pelan,”Kau bahkan belum mengucapkan salam perpisahan padaku.” lanjutnya
Air mata gadis itu mengalir semakin deras.Ia menggertakkan rahangnya. Menahan amarah dan kesedihan yang berbaur menjadi satu.
“Air matamu tak akan membuatnya terbangun kembali.” Celetuk seseorang
Gadis itu menengadah.Matanya menangkap sosok seorang lelaki jakung yang tengah berdiri di seberangnya.Ia hanya terdiam. Tak menanggapi omonganlelaki itu.
“Meskipun aku menangis hingga air matamu kering, orang ini tak akan mungkin bisa hidup kembali.” Tambah lelaki itu
Telinga gadis itu bergetar semakin keras ketika mendengar kata-kata lelaki itu.Membuat bibir mungilnya berbicara.
“Kau tak tahu, betapa ini sangat menyedihkan.” Balas gadis itu dengan suara isakan yang terdengar begitu jelas
Lelaki itu berjongkok tepat di seberangnya.Menatap gadis di depannya sejenak. Kemudian ia tersenyum kecil.
“Do’a-mu akan lebih berharga untuknya, dari pada kau menangis seperti ini.”
Gadis itu menatap ke arah lelaki di depannya.
“Ayo, pergi dari sini.”
Lelaki itu menarik lengan sang gadis. Tanpa meminta persetujuan gadis di depannha.Membawanya meninggalkan arena pemakaman itu.Melewati jalan setapak.Menuju sebuah pelataran yang amat luas. Sebuah padang rumput yang begitu luasdengan ilalang-ilalang yang tingginya dibawah lutut.
“Hei, apa yang kau lakukan? Kenapa kau membawaku ke mari?” gadis itu mulai panik
“Aku tau apa yang akan membuatmu berhenti menangis.” Balas si lelaki
“Jangan berbuat macam-macam padaku. Atau,…..”
“Macam-macam? Aku tak akan melakukan apapun padamu,…..Naomi.” Potong lelaki itu
“Bagaimana kau tahu namaku?”
“Kalungmu.” Lelaki itu menunnjuk leher gadis yang ia panggil Naomi itu,”Ayolah,…..” lelaki itu menarik lagi lengan Naomi. Dan, meskipun Naomi berusaha melepaskan lengannya dari cengkraman lelaki itu, ia tak bisa. Lelaki itu membawanya berlari lebih jauh lagi. Dan akhirnya mereka berdua sampai di antara padang rumput yang dipenuhi dengan Krisan merah.
“Wahh, cantik sekali.” Gumam Naomi, perlahan seulas senyum tersungging dari bibir mungilnya. Matanya berkeliling menatap hamparan Krisan-krisan yang cantik itu
“Dan, ini.” Lelaki itu menyodorkan setangkai bunga bertopi putih pada Naomi
“Dandelion?Untuk apa?”
“Katakan permohonanmu, lalu tiuplah Dandelion ini.Mungkin, Tuhan akan mengabulkannya.”
Naomi menerima setangkai Dandelion itu.Ia menatap sejenak ke arah dandelion di tangannya. Kemudian memejamkan matanya.Tuhan, ku mohon jaga Ibuku.Jangan biarkan dia kesepian. Jangan biarkan ia berada dalam kegelapan. Dan satu lagi, jagalah ia dari api neraka.
***************
“Kau bisa pulang sendiri bukan?” Tanya lelaki itu pada Naomi
“Tentu saja.” Balas Naomi
Beberapa detik kemudian, sebuah bus datang.Naomi melangkahkan kakinya memasuki bus.Ia pun mencari tempat duduknya. Dan sebelum Bus itu berjalan kembali, lelaki yang tadinya bersama Naomi melambaikan sebelah tangannya.Bergumam sesuatu yang sama sekali tak terdengar oleh Naomi. Meskipun begitu, Naomi membalasnya dengan seualas senyum. Ketika bus telas berjalan menjauh, ia baru saja menyadari sesuatu.
“Astaga! Mengapa aku tak bertanya nama orang itu? Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih padanya.” Katanya
Ia mengeluarkan sebatang lollipop pelangi dari balik gaunnya. Sebuah lollipop dari lelaki yang baru saja ia temui. Lelaki asing, yang tiba-tiba saja muncul dan menghibur Naomi.Mentraktirnya makan malam dan memberinya sebuah lollipop.
“Mr.Lolipop, siapapun kau….. TerimaKasih.” Katanya sembari menatap lollipop di tangannya
************
Naomi melangkahkan kakinya tepat di sebuah gedung berpagar besi yang menjulang tinggi.Beercat putih di mana-mana. Dan sebuah taman yang asri di depannya. Itu rumahnya.Rumahnya yang cukup besar. Tepat saat ia melangkah masuk ke dalam rumah, seorang wanita paruh baya dengan baju bermotif bunga dan celemek yang menggantung di lehernya, langsung menarik tangan Naomi.
“Astaga, dari mana saja Nona.Ini sudah terlalu malam untuk seorang gadis berkeliaran.” Katanya panik
“Bibi, kau tak perlu cemas.Aku hanya berkeliling sebentar.” Balas Naomi sembari menyunggingkan seulas senyum polosnya
“Lalu, apakah Nona sudah makan malam?” tanya wanita paruh baya itu
“Tentu saja.Seseorang mentraktirku makan Bulgogi yang sangat lezat.”Balas Naomi,”Di mana Ayah?” Tanya Naomi
“Tuan sedang ke Jepang.Pesawatnya berangkat dua jam yang lalu. Beliau bilang, ada urusan yang sangat penting.”
“APA!Jepang?” Naomi membulatkan matanya,”Bisa-bisanya,……. Istrinya meninggal tak lebih dari sepuluh jam yang lalu, dan sekarang Dia pergi ke Jepang. Ah,….Aku tau.Pasti Dia lebih mementingkan bisnisnya.Dari pada putrinya.”
Naomi terlihat begitu marah.Mata beningnya berubah menjadi merah.Wajah cantiknya berubah menjadi sedikit mengerikan.Matanya berkaca-kaca, menahan air mata.Ia menggigit bibir bawahnya.
“Orang itu, benar-benar buruk.Buruk sekali!” Umpatnya, kemudian berlari menuju kamarnya
Naomi membanting pintu dengan sangat keras.Air matanya mengalir begitu deras.Bagai lautan yang membasahi daratan.Amarah, sedih dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam batinnya.Ia memukul-mukul dadanya. Berusaha untuk tegar.Namun, air matanya tak bisa berhenti mengalir.
************
Hari ini, tepat ketika hari pertama musim dingin. Dan pertama kalinya Naomi masuk sekolah kembali setelah seminggu yang lalu, ibunya meninggal.Naomi berjalan melewati lapangan sekolahnya.Lapangan yang cukup luas. Sesekali ia menyibak rambut panjangnya yang terurai karena tertiup angin. Langkahnya begitu ketus.Raut mukanya menampakkan ketidaksenangan.
“Hei, Naomi.” Celetuk seseorang di belakangnya. Naomi menghentikan langkahnya lalu berbalik
“Ke mana saja Kau selama ini?”
Seorang gadis berrambut pirang dengan pita kecil di salah satu ujungnya tengah berdiri di hadapan Naomi.Tatapannya seolah mengejek.Senyum licik jelas terlihat dari bibir tipisnya.Membuat Naomi sedikit muak.
“Apa kau frustasi, dan memutuskan untuk menyusul ibumu?Benarkah itu?” Gadis itu mulai mengoceh dengan kata-kata yang menggelitik gendang telinga Naomi
Naomi menatap tajam mata gadis berrambut pirang itu.Sebelah tangannya mengepal.Ia mendesah pelan. Dan berusaha bersikap tenang, meskipun kenyataannya ia begitu ingin mencakar gadis di depannya.
“Caroline,….Jika kau masih ingin hidup, tolong jangan ganggu aku.” Balas Naomi ketus
“Oh, lihat itu.Dia benar-benar gila.” Kata gadis yang dipanggil Caroline itu pada teman di sampingnya
Caroline dan temannya tertawa sembari menatap ke arah Naomi.Tawa yang terdengar sangat mengerikan dan menjengkelkan di telinga Naomi. Ingin rasanya ia mencakar dan menjambak kedua gadis di hadapannya itu. Namun, tiba-tiba saja ia teringat nasihat ibunya ‘Apapun yang terjadi, Jangan pernah menggunakan tanganmu untuk menyakiti orang lain.’
“Kalian pikir ini lucu?Sama sekali tidak.” Kata Naomi, lalu ia berbalik dan melangkah menjauh
Ini lebh baik daripada meladeni omongan gadis menyebalkan dan tak tahu aturan seperti Caroline. Orang seperti dia, tak akan puas menyakiti sebelum musuhnya mati.
***********
“Niel! Kau melupakan payungmu.” Teriak seorang wanita paruh baya sembari menyodorkan sebuah payung kuning
“Ibu, aku tidak apa-apa.Kenapa harus membawa payung?” Balas lelaki yang dipanggil Niel itu
“Ibu hanya tidak mau kau kehujanan, langit sedikit mendung.”Wanita itu tampak khawatir,”Dan ini, kau juga melupakan obatmu.”
Wanita paruh baya itu menyodorkan beberapa botol cokelat yang berisikan beberapa kapsul mungil.Sedangkan Niel hanya tersenyum kecil dan menerima pemberian ibunya. Karena ia telah terbiasa dengan perlakuan seperti ini. Tepatnya sejak tujuh tahun yang lalu, sejak sesuatu terjadi padanya dan hampir membuatnya pergi.
**********
Naomi berjalan dengan langkah gontai menyusuri setiap lorong sekolah yang ia lewati. Seragamnya basah dan kotor.Bau air bekas pel tercium darinya.Baru saja, seseorang menjahilinya. Menumpahkan air bekas pel ketika ia sedang di toilet. Tentu saja ia tahu siapa pelakunya. Ini ulah Caroline.Hanya saja, Naomi tak bisa membalasnya. Dan mungkin saja ia sendiri merasa terlalu lemah untuk menghadapi penyihir seperti Caroline.
Naomi terduduk di depan perpustakaan sekolah. Sekolah telah bubar sejak dua jam yang lalu, namun Naomi masih tinggal. Ia memeluk tubuhnya sendiri, menggigil. Tak terasa setitik air bening menetes dari kedua matanya.Satu, dua, dan kemudian air mata itu mengalir semakin deras.Ini terlalu buruk, pikirnya. Seseorang yang amat ia sayangi telah pergi untuk selamanya. Dan, seseorang yang seharusnya menjadi pengganti orang itu malah sibuk dengan pekerjaannya.Lagi, orang-orang menyebalkan terus mengusik ketenangannya di sekolah.Ia merasa, semuanya terlalu kacau.
************
Kabut putih menyelimuti seluruh sudut kota. Padahal, mentari telah berusaha untuk mengintip dari balik awan.Namun kabut menghalanginya.pagi ini Naomi pergi dengan sepedanya. Mengenakan seragam seperti biasanya.Ia mengayuh sepedanya begitu pelan. Matanya tak benar-benar menatap jalan raya.Isi otaknya sedang teraduk menjadi satu hingga menghasilkan perasaan yang tak menentu.
Tepat ketika berada di persimpangan jalan dekat sekolah, Naomi menghentikan sepedanya.Ia membalikkan sepedanya. Ia kembali mengayuh sepedanya. Pikiran yang campur aduk membuatnya rishi hingga bernafsu untuk mengayuh sepedanya secepat kilat.Berharap pikiran-pikiran aneh itu terbang terbawa oleh angin. Namun, ketika cara itu tak berhasil Naomi memilih untu memejamkan matanya, dan…..
BRAKK!!!!
“Auuuuuu…..”
Naomi terjatuh. Dan sepertinya ia menabrak seseorang. Ia segera bangun. Seketika itu pula ia mendapati seorang lelaki berjaket abu-abu terjatuh tepat di depan sepedanya.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya Naomi khawatir,”Maafkan aku…..” Kata-katanya terdengar putus asa
“Kenapa memejamkan mata saat bersepeda?” lelaki itu mengomel,”Untung jalanan ini sepi, kalau tidak……” ia tak meneruskan kata-katanya
Lelaki itu menatap Naomi, begitupun sebaliknya.Mata mereka bertemu.Membuat Naomi mengingat sesuatu.
“Mr.Lolipop!”
“Naomi!”
**************
“Jadi, hari ini kau bolos?” Tanya lelaki yang tertabrak oleh Naomi
“Begitulah…..” Balas Naomi
Mereka berjalan di antara kios-kios kecil di pinggiran kota. Sembari Naomi menuntun sepedanya.Wajahnya masih terlihat kusut. Tatapan matanya hanya lurus ke depan.
“Apa kau tau, saat ini, wajahmu terlihat seperti cucian baru kering yang belum di setrika.Kusut sekali.” Ledek lelaki yang berada di samping Naomi
Naomi tak menanggapi omongan lelaki itu. Matanya masih menatap lurus ke depan. Tanpa gairah.Tiba-tiba lelaki itu menarik sepeda Naomi, lalu menaikinya.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Naomi, sedikit kaget
“Naiklah, kau harus tersenyum.” Balas lelaki itu
Naomi ragu, tapi akhirnya ia naik juga. Mungkinkah ia sedang lumpuh otak? Bagaimana bisa seorang gadis pergi bersama seorang lelaki yang baru saja ia kenal. Atau mungkin belum kenal sama sekali. Namun sepertinya, Naomi tak pernah berpikir tentang ini. Karena ia benar-benar lumpuh otak oleh semua hal yang membuatnya stress. Lelaki itu pun mengayuh sepedanya dengan kuat. Begitu cepat. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah padang rumput. Tempat yang sama seperti saat itu. Ketika Naomi menangis sendirian di depan makam ibunya.
“Tempat ini lagi?” Naomi bertanya
“Ya, aku kira kau menyukai tempat ini.Bukankah begitu?” Lelaki itu kembali bertanya
“Tentu saja.Aku suka ilalang-ilalang seperti ini.Aku suka krisan-krisan cantik itu.Aku suka rumput-rumput yang bergoyang tertiup angin.Dan, aku suka melihat Dandelion yang ku tiup terbang ke udara.” Naomi mulai berceloteh,”Di sini lebih baik daripada di sekolah, dan…. Di rumah.”
Naomi dan lelaki asing itu duduk bersandar di bawah sebuah pohon besar dekat hamparan ilalang. Mereka menatap lurus ke depan. Tanpa besuara.Menikmati hembusan angina yang begitu lembut membelai.
“Well, berapa usiamu…. Naomi?” Lelaki itu membuka pembicaraan
“Tujuh belas tahun. Kau sendiri?” Naomi balik bertanya
“Sembilan belas.Dua tahun lebih tua darimu.”
Mereka saling mengobrol.Sesekali terdengar tawa saat salah seorang di antara mereka melempar sebuah lelucon.Dan, Perlahan, kesedihan yang terukir di wajah Naomi mulai hilang. Tergantikan dengan seulas senyum yang begitu manis.Dan tawa bahagia.
“Ngomong-ngomong,………….kalungmu bagus.”
“Seseorang yang memberikannya padaku.”Balas Naomi, matanya mulai menerawang,”Tujuh tahun yang lalu, ketika senja di musim gugur.”
“Seorang anak laki-laki?”
“Ya. Dia bilang ini hadiah. Hadiah untuk terakhir kalinya.” Naomi masih menerawang
Lelaki itu terlihat semakin penasaran.Ia menatap Naomi.
“Terakhir kali?”
“Anak laki-laki itu berjanji akan menemuiku keesokan harinya. Tepat jam lima sore di dekat jembatan. Namun, hingga sekarang ia tak pernah muncul untuk menepati janjinya. Tak peduli berapa lama aku menunggunya di sana, ia tak juga datang.” Naomi mengerucutkan bibirnya
Lelaki itu menatap lekat wajah polos Naomi yang masih menatap lurus ke depan. Bibirnya seolah ingin mengatakan sesuatu, namun ia tak bisa mengatakannya.
*************
“Terima kasih untuk hari ini.” Kata Naomi ketika mereka sampai di depan rumahnya,”Dan juga lollipop ini.” Naomi menunjukkan sebatang lollipop pelangi di tangan kirinya
“Tak usah sungkan.”Balas lelaki itu ringan,”Tapi, kau tak boleh bolos lagi.Itu, sangat buruk.”
“Aku tau.” Balas Naomi singkat
Naomi menuntun sepedanya masuk ke halaman rumahnya. Langit telah berubah menjadi gelap sejak dua jam yang lalu. Dan sekarang, tepat ketika jam makan malam tiba Naomi sampai di rumahnya.Ia berjalan menuju meja makan. Tak ada siapapun di sana. Kecuali semua makanan yang lengkap tersaji di meja makan.Mendadak, Naomi yang tadinya tersenyum senang berubah murung kembali.Ia menarik pelan kursinya. Menatap ke sekeliling meja makan.Tak ada Ayah, ataupun Ibu.
Mata Naomi berkaca-kaca.Bibirnya tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya. Perlahan ia memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Mengunyah pelan.Dan tiba-tiba saja air matanya menetes.Bibirnya kemudian bergetar. Cepat-cepat ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Berusaha agar isakan tangis tak terdengar.
*************
Gemericik air terdengar seperti alunan nada yang indah.Mengetuk lembut gendang telinga Naomi. Hujan tiba-tiba saja datang ketika jam sekolah usai. Terpaksa, ia harus menunggu hingga hujan reda. Karena hari ini, Naomi memakai sepedanya tanpa membawa payung.
Suasana semakin sepi ketika para siswa pulang dengan mobil ataupun payung mereka. Hanya tinggal beberapa orang yang berlalu-lalang di depan Naomi. Satu jam, dua jam, hujan belum juga reda. Membuat Naomi sedikit resah.
“Kau belum pulang?”
Suara itu membuat Naomi sedikit kaget.Ia mendongak. Seorang lelaki yang kemarin bersamanya. Kini berdiri tepat di depan Naomi. Dengan sebuah payung kuning di tangan kirinya.Lelaki itu tersenyum, menunjukkan barisan gigi putihnya yang rapi.
“Kau?” Naomi heran,”Bagaimana Kau bisa ada di sini?”ia terkejut dengan kedatangan lelaki yang telah dua kali memberinya lollipop, tanpa ia tahu siapa lelaki itu
“Apakah itu penting?Haruskah ku beritahu padamu?”
Naomi terdiam.Lelaki itu ikut duduk di sebelah Naomi.Naomi menatap lelaki itu, kemudian menatap lurus ke depan. Menatap jutaan air langit yang tumpah.Hening sejenak.Hingga akhirnya, lelaki itu membuka suara.
“Tujuh tahun yang lalu, saat hujan deras turun, seorang anak perempuan sedang mengggil di bawah pohon Peach.Ia memeluk tubuh kecilnya. Gaun cokelatnya basah dan kotor terkena air hujan.”Lelaki itu mulai bercerita,”Sepertinya, dia sedang berteduh dari hujan.Tapi, percuma saja.Daun-daun itu tak akan melindungi tubuhnya dari derasnya air hujan.” Lelaki itu tertawa kecil
“Aku menghampiri gadis kecil itu.Ia sedikit terkejut ketika melihatku. Dan akhirnya aku mengantarnya pulang dengan payung kecilku.Gadis itu cantik sekali.Begitu polos dan anggun.Ia juga memberikan aku sebuah lollipop miliknya. Hadiah, katanya. Karena sudah mengantarnya sampai rumah.” Lelaki itu tersenyum, namun matanya masih menatap lurus ke depan
Naomi masih menatap lelaki itu. Otaknya dipaksa untuk berpikir keras setelah ia mendengar cerita dari orang di sampingnya. Kejadian itu, terdengar tak asing di telinga Naomi. Suatu kejadian yang sepertinya ia pernah mengalaminya. Hujan, dan……lollipop?
“Niel. Apakah Kau,….Niel?” Naomi bertanya
Lelaki itu menatap Naomi.Matanya berbinar.
“Kau mengingatku?Apa sekarang Kau mengingatku?” Lelaki itu kembali bertanya
“Kau benar-benar Niel?”
Keduanya tersenyum.Saling menatap.Ada perasaan bahagia yang menyelimuti keduanya.Khususnya, bagi Niel.Hari ini, benar-benar hari yang ditunggunya.Setelah sekian lama.
*************
Musim dingin berlalu.Hari pertama musim semi, tiba. Di depan rumahnya, Naomi telah bersiap dengan sepeda kesayangannya. Duduk di antara rumput hijau yang berjajar rapi.Ia tengah menunggu seseorang. Seseorang yang telah membuatnya tersenyum kembali, setelah ibunya pergi.
“Naomi, apa Kau sudah siap?” Teriak seseorang dari luar pagar
Seorang lelaki jangkung tengah berdiri dengan sepedanya.Rambut ikalnya bergoyang tertiup angin.Ia tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Naomi. Naomi membalasnya dengan seulas senyum. Senyum termanis yang ia miliki.
“Ayo berangkat, aku sudah siap.” Balas Naomi
Mereka menaiki sepeda masing-masing. Mengayuhnya menuju jalanan kota. Hari ini, tak begitu ramai.Karena hari ini adalah Minggu.Naomi dan Niel melewati beberapa kios penjual makanan ringan.Mereka mampir sebentar untuk menikmati beberapa makanan-makanan itu.
“Hei, Kau….. lihat mulutmu, begitu penuh dengan bakso ikan. Apa kau belum makan?” Ledek Naomi sembari menunjuk mulut Niel
“Entahlah, mereka terasa begitu enak ketika aku memakannya bersamamu.” Gurau Niel
Mereka tertawa.Setelah selesai, mereka kembali mengayuh sepeda masing-masing.Kali ini menuju perpustakaan.Kemudian toko souvenir.Taman bermain.Dan yang terakhir, tempat pertama kali mereka bertemu.Makam ibu Naomi.
Naomi berjalan pelan, kemudian berjongkok di sebelah makam ibunya.Ia menatap sendu kuburan itu. Kemudian mengelus lembut tanah kuburan itu dengan jemari lentiknya.
“Ibu, bagaimana keadaanmu di sana? Apa kau bahagia?”Naomi mulai berbicara sendiri,”Aku baik-baik saja, Bu. Kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Dan,….Ayah, seperti biasa dia selalu sibuk dengan bisnisnya. Aku tak masalah, karena sekarang sudah ada seseorang yang menemaniku.Seorang teman, yang memberikanku kalung ini.” Naomi berbicara seolah-olah ibunya ada di depannya dan mendengarkan kata-katanya
Sementara itu, Niel yang sedang berdiri menatap Naomi dari kejauhan.Ia menatap lekat gadis itu. Ada semburat kesedihan yang tersirat di wajahnya. Kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan pada siapapun. Termasuk Naomi.
Tiba-tiba setetes cairan kental berwarna merah menetes dari lubang hidung Niel.Ia mengusap cairan itu, perlahan. Sejenak ia menatap cairan kental yang berada di jemari tangannya. Kedua matanya sendu. Kemudian Niel menyeka cairan yang lain dengan sapu tangannya. Mungkinkah, ini berarti sesuatu yang buruk akan terjadi?
************
Naomi duduk di teras rumahnya.Sembari menikmati semilir angin sore musim semi.Di tangannya ada lollipop pemberian Niel.Lelaki itu selalu memberikan lollipop setiap kali mereka bertemu.Namun, akhir-akhir ini mereka jarang bertemu. Entah karena apa, Naomi sendiri tak tahu kenapa tiba-tiba Niel jarang menemuinya.
“Kau di mana?Kenapa lama sekali tak menemuiku.” Gerutu Naomi
Naomi mengerucutkan bibirnya.Menaikkan kedua kakinya ke kursi lalu memeluk keduanya.Entah mengapa, seakan ada yang hilang. Mungkinkah itu…….
“Apakah seseorang merindukanku?”
Suara itu, membuat Naomi menengadah.Matanya menangkap sosok seorang lelaki jangkung berrambut ikal berwarna cokelat.Senyum manisnya kini terpatri di bibir tebalnya.Suara itu, seolah membangunkan Naomi dari mimpi-mimpinya.Mimpi yang panjang dan amat membosankan.Niel, kini lelaki itu berada tepat di depannya.
“Kapan aku merindukanmu?”Naomi berusaha mengelak,”Jangan berlebihan.”
Niel duduk di samping Naomi.Ia menatap Naomi. Lagi-lagi tatapan itu, tatapan sendu.Matanya sedikit merah.Wajahnya terlihat sedikit pucat. Namun, Naomi sama sekali tak menyadarinya. Karena sedari tadi ia tak menatap Niel.
“Kau marah karena aku tak datang?” Tanya Niel
“Tidak.Kenapa harus marah.” Balas Naomi ketus
“Lalu kenapa nada bicaramu seperti itu?”
Naomi terdiam sejenak.Ia memutar otaknya. Berusaha agar semua emosi yang berkecamuk dalam jiwanya tak terlihat. Namun, ketika ia membuka suara jelas-jelas terdengar nada marah.
“Lebih baik kau pulang.Sebentar lagi matahari tenggelam.” Katanya ketus, kemudian bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumahnya
Langkah Naomi terasa berat.Tak tega sebenarnya meninggalkan Niel sendirian. Namun, ia sendiri tak dapat memungkiri kekecewaan yang ua rasakan saat ini. Karena Niel. Dua Minggu yang lalu, Niel membatalkan janjinya tanpa alasan.Padahal saat itu Naomi telah menunggunya di Padang rumput. Minggu lalu, ia juga membatalkan janji untuk pergi ke makam ibu Naomi dengan alasan jadwal kuliah sedang padat. Dan hari-hari biasa, Niel bahkan tak mengirimkan Naomi pesan. Namun, tiba-tiba hari ini ia muncul di depan Naomi. Tentu saja ini membuat Naomi merasa tak enak hati.
Bagaimanapun juga, Naomi tetap tak bisa membiarkan Niel. Dua minggu ia tak melihat wajah teman kecilnya. Tak baik bila hari ini ia mencampakan temannya yang telah rela meluangkan waktu untuknya di tengah jadwal kuliah yang padat. Akhirnya Naomi berjalan kembali menuju teras depan. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati sosok Niel tengah terkulai lemas di depan tangga. Niel pingsan.
*************
Suara tangis yang terdengar di telinga Naomi terasa begitu menyedihkan.Air mata yang jatuh dari kelopak mata wanita itu terlihat begitu menyedihkan.Naomi benar-benar tak tega melihatnya.Ia mendekati wanita paruh baya yang duduk di depan ruang ICU.
“Bibi, bukankah Niel hanya terkena Anemia?Dia pasti akan segera sembuh.” Naomi berusaha menghibur ibu Niel
“Ya.Anemia.” Wanita itu hanya membalas singkat kemudian tersenyum kecil
*************
“Naomi, apakah Kau akan tetap tersenyum meski aku tak ada di sisimu?” Tanya Niel suatu ketika
“Kenapa Kau bertanya seperti itu?” Naomi heran,”Bukankah kau akan selalu ada di sisiku, sebagai temanku. Dan akan membuatku terus tersenyum.”
Niel tak menjawab.Ia hanya tersenyum lemah di atas tempat tidurnya. Sembari menatap lekat wajah Naomi.Wajahnya masih pucat. Bibirnya ingin berbicara, namun ia mengurungkan niatnya. Saat ini, yang ia butuhkan hanyalah keajaiban. Keajaiban yang dapat membuatnya kembali mengayuh sepeda bersama Naomi. Berlarian di padang rumput, kemudian meniup dandelion bersama.
************
Hari kesepuluh semenjak Niel di rumah sakit.Naomi selalu datang menjenguksnya setiap hari. Dan hari ini, ia kembali datang. Dengan sekeranjang apel di tangannya. Namun, ia sedikit terkejut karena mendapati kamar Niel dalam keadaan kosong. Naomi mengetuk pintu kamar mandi, tak ada suara. Hingga akhirnya ia menyadari, ruangan itu telah benar-benar kosong. Tiba-tiba, seorang perawat datang padanya dengan sebuah amplop yang berisikan sepucuk surat. Ia membuka surat itu, perlahan.
Naomi,………
Maafkan aku, karena aku tak menemuimu waktu itu.Tujuh tahun yang lalu.Aku lupa ketika aku berjanji padamu untuk datang pada hari itu. Tepat pada saat aku akan beranjak menemuimu, ibuku mengingatkanku tentang jadwal penerbangan kami. Penerbangan menuju Amerika. Sehingga ia melarangku untuk pergi menemuimu. Karena, saat itu juga kami harus pergi.Kau tau, aku begitu sedih kala itu.Karena aku tak dapat bertemu dengamu untuk waktu yang lama.
Dan akhirnya ketika aku dapat bertemu denganmu kembali, kau sama sekali tak mengingatku. Jadi, aku berusaha membuatmu mengingatku.Dengan lollipop yang kuberikan padamu.Senang sekali ketika aku dapat berada di sisimu, dan membuatmu tersenyum.Bahkan tertawa.Namun, semua itu terasa cepat berlalu.Ketika tanda-tanda penyakit ini mulai kambuh.Leokimia.Sejak berumur sepuluh tahun, penyakit itu telah bersarang dalam tubuhku.Menggerogoti sedikit demi sedikit organ tubuhku.Kau tau, kepergianku ke Amerika adalah untuk berobat. Dan apa kau tau, selama dua minggu itu, aku telah terbaring di rumah sakit ini. Bukan sibuk dengan kuliahku.
Naomi, mungkin ketika Kau membaca surat ini aku sudah tak berada di tanah yang sama denganmu. Aku kembali ke Amerika.Maafkan aku karena tak memberitahumu tentang ini sebelumnya.Dan, jika aku tak kembali, ku mohon jangan menangis karenaku. Itu hanya akan membuatku semakin sedih. Tertawa tiga kali sehari akan membuatmu lebih baik. Satu lagi, jangan marah kepada Ayahmu.Walau bagaimanapun, dia ayahmu Naomi.
Tersenyumlah, dan jangan menangis.Kau harus kuat. Naomi, FIGHTING!!

Niel
Tangan Naomi bergetar.Air matanya terus mengalir.Tatapan matanya kosong.Jantungnya serasa dihentakkan oleh ribuan langkah kuda.Kemudian dihancurkan dengan ratusan bom yang begitu dahsyat.Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Kakinya melemas, membuatnya jatuh terduduk di atas lantai.
“Niel, …..ini tidak mungkin.” Katanya
**************
Musim semi kembali datang.Dua tahun setelah kepergian Niel. Naomi berjalan menapaki jalan setapak yang membawanya menuju padang rumput yang biasa ia kunjungi bersama Niel. Ia menatap seluruh tempat itu. Tempat itu sedikit berubah. Ilalang-ilalang di sana tumbuh semakin tinggi. Naomi masih berjalan.Melangkahkan kakinya menuju tempat krisan-krisan bermekaran.Seulas senyum terukir dari bibir gadis itu.Krisan-krisan itu terlihat lebih cantik di musim semi.Naomi berjalan mendekat.Kakinya menginjak sesuatu.Lollipop.
Naomi membulatkan matanya setelah mendapati lollipop itu berada di bawah kakinya.Bagaimana bisa sebuah lollipop tergeletak di sini.Siapa yang meninggalkannya di sini.Itu membuatnya teringat Niel.Karena orang itu selalu memberinya lollipop.Tepat di sebelah lollipop itu, ada Dandelion yang hampir menguning.Naomi tersenyum melihatnya.Lagi-lagi, sesuatu yang mengingatkannya pada Niel.Kala mereka membuat harapan dan meniup Dandelion itu.Menatap benih-benih Dandelion yang terhempas ke udara.
Naomi memetik beberapa. Kemudian ia memejamkan matanya. Niel, ku harap Kau ada di sini.Karena saat ini aku sangat merindukanmu.Bibirnya membentuk kerucut lalu meniup Dandelion itu.Berharap, Tuhan mendengar harapannya.
“Naomi, kaukah itu?”
Suara itu membuat Naomi kaget. Cepat-cepat ia membalikkan badannya. Mencari pemilik suara yang memanggilnya. Dan, betapa terkejutnya ia ketika mendapati sosok yang selama ini ia harapkan kehadirannya.
“Niel…”
Naomi seolah tak percaya.Niel—sekarang—ada di hadapannya. Melemparkan seulas senyum yang terlihat begitu manisyang pernah ia lihat. Naomi berkaca-kaca.Ini benar-benar Niel.Mereka saling menatap.Bibir mereka terkatup.Namun, mata mereka berbicara.

Guguran Musim Semi


Gerimis masih turun sejak tadi malam. Membawa suara rintikan yang terdengar seperti nyanyian sendu. Membawa aroma basah rumput di depan rumah dan wangi sakura yang mulai mekar di seberang jalan. Sedangkan matahari tersembunyi di balik mendung. Entahlah, aku tidak yakin, sudahkah sekarang musim semi ataukah masih musim dingin. Ini karena udara tak sedingin pada saat musim dingin, tapi terlalu dingin untuk disebut musim semi. Tapi hari ini adalah bulan Maret, di mana musim semi seharusnya datang.
Aku masih duduk di sini, di depan meja belajarku. Sembari menatap ke luar jendela. Menatap bulir-bulir gerimis yang—menurutku— indah. Mereka berkilau ketika cahaya lampu taman yang masih menyala mengenainya. Tiba-tiba saja, ada rasa sedih yang menyelimuti kalbuku. Aku tak dapat tidur dengan nyenyak, karena rasa ini terus mengusikku sejak tadi malam. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bangun, meski jam dinding yang tergantung di kamarku masih menunjukkan pukul empat pagi. Hingga akhirnya aku sadar telah duduk di sini selama empat jam tanpa melakukan apapun.
Aku melangkah ke luar meninggalkan pelataran rumahku. Dengan rok denim mini warna hitam dan dengan stoking warna senada. Lalu membuka payung kuning yang kugenggam di tangan kiriku. Angin dingin berhembus lembut membelai rambut panjangku yang terurai. Aku merapatkan sweaterku. Kemudian aku melangkah menyusuri jalanan di sekitar rumahku yang cukup lengang. Meski tak selengang suasana hatiku saat ini.
**********
“Eomma, nawaseo1!”, kataku riang, sembari berjalan menuju toko bunga di depan rumahku.
Ibu melihatku sekilas kemudian tersenyum. Sementara ia masih melayani pelanggan yang hendak membeli bunga. Aku duduk di kursi dekat jendela, kemudian menyandarkan punggungku pada kursi. Sembari menatap bunga sakura yang mulai bermekaran di seberang jalan, dan mencium wangi bunga azalea yang memenuhi setiap jendela yang ada di ruangan ini di ruangan ini.
”Appa2 belum pulang?”, tanyaku pada Ibu setelah pelanggan itu pergi.
“Belum. Kau tahu kan, seperti apa sibuknya dia?”, jawab Ibu.
Aku diam mendengar jawaban Ibu. Benar, ayah memang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Hingga tak ada waktu untuk menemaniku. Beliau mungkin lebih memilih berkutat dengan kertas-kertas berharganya di kantor. Namun aku besyukur karena beliau tak mendapat jabatan tinggi layaknya direktur atau presdir. Setidaknya ayah masih memiliki ‘sedikit’ waktu untuk sekedar sarapan dan makan malam dengan kami.
***
“Appa, ku mohon biarkan aku membeli tas itu.”, rengekku sembari menunjukkan selembar kertas yang berisikan iklan.
“Sudah kubilang, tidak. Bukankah kau sudah memiliki banyak tas? Jangan bertindak boros Ae-Rin.”, tolak ayah, matanya masih sibuk mencermati setiap kata pada koran di tangannya.
“Tapi ini edisi terbatas, appa. Kapan lagi aku bisa membeli tas berlogo Girls Generation yang seperti ini? Hanya ada di awal musim panas ini, appa”,
“Minggu lalu, kau juga mengatakan hal yang sama untuk album mereka. Kenapa sekarang kau meminta appa untuk membelikan tas?”,
Aku terus merengek di samping Ayahku. Aku berusaha keras merayu ayah supaya aku dapat membeli tas berlogo tokoh favoritku. Aku yakin, lama kelamaan ayahku tak tahan dengan rengekan kekanak-kanakan yang terus menerus keluar dari mulutku. Benar saja, karena tak tahan dengan rengekanku, akhirnya ayah mengiyakan keinginanku.
***
Aku duduk di depan meja belajarku. Menatap selembar kertas berwarna putih yang sudah agak lusuh. Di atasnya tertera angka dua puluh lima, tepat di tengah dan ditulis dengan spidol warna merah. Membuat mataku semakin perih ketika menatapnya. Dua puluh lima untuk nilai Matematika. Ayah pasti marah kalau melihat nilai seperti ini ada pada daftar nilai harianku.
“Apa ini?”, tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakangku dan mengambil kertas itu. Kedua mataku melebar ketika mengetahui siapa orang itu. ayah.
“Itu nilai Matematikaku, Appa.”, kataku pelan, pasrah jikalau Ayah akan mencecarku dengan omelan-omelannya.
Ayah menatap sekilas lembar ulangan harianku. Sedangkan aku hanya tertunduk pasrah. Batinku menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah ini. Namun, ketika suara datar ayah mengetuk gendang telingaku, batinku memberika suatu pertanda yang baik. Meski sebenarnya tak terlalu baik.
“Baiklah, Kau harus benar-benar berusaha keras. Kalau di ujian yang akan datang nilaimu masih sama, Appa akan menyita seluruh koleksi album Girls Generation mu.”, ancam Ayahku.
Meski sedikit kaget karena barang-barang itu yang menjadi taruhan, aku tak ingin protes kepada Ayah. Beliau mungkin akan marah jika aku berani protes. Saat ini, mungkin saja aku masih beruntung karena ayah tak mengancam untuk membuangnya atau mengancam sesuatu yang lebih buruk. Lagi pula ini memang salahku yang mendapatkan nilai sejelek ini.
***
 “Apakah tanda tangan mereka lebih penting sehingga Kau membolos, Ae-Rin?”, ayah mulai meninggikan suaranya.
“Aku tidak membolos, appa. Aku hanya pergi sebentar, kemudian kembali lagi ke sekolah. Aku janji, tak akan sampai dua jam.”, aku memohon.”Lagi pula, dua jam tak ada artinya jika setiap hari aku harus belajar sepuluh jam di sekolah. Ini membosankan.”, rengekku.
“Cukup Ae-Rin, appa sudah bosan mendengar rengekanmu yang kekanakan seperti ini! Bukankah appa sudah menuruti keinginanmu untuk membeli atribut seperti milik mereka? Apakah itu belum cukup?”, katanya dengan suara yang masih sama.”Pokoknya, kau tidak boleh pergi. Pikirkan tentang nilai-nilaimu yang mulai menurun itu!”.
Aku berjalan dengan langkah lebar menuju kamarku, kemudian mengunci pintu. aku melemparkan tubuhku ke atas ranjang. Menatap ke langit langit kamarku sembari berusaha menahan genangan air mata di ruang mataku agar tak meluap.
***
Aku masih setia duduk di depan komputer, meski jam dinding yang tergantung di dinding kamarku telah menunjukkan pukul satu dini hari. Setumpuk pekerjaan rumah yang harus kukerjakan membuatku tak ada waktu untuk sekedar mencari referensi untuk bahan membuat novel. Novel pertama yang akan kubuat. Namun, proses pengerjaannya selalu molor karena kesibukanku di sekolah dan setumpuk PR dari sekolah.
“Kenapa belum tidur?”, kata ayah yang tiba-tiba masuk ke kamarku.”Ini sudah malam Ae-Rin, bukankah esok kau harus pergi sekolah?”,
“Aku sedang membuat novel, appa. Besok sore aku harus mengirimnya ke kantor pos.”, balasku datar, sementara mataku masih terfokus pada layar komputer.
“Novel? Apa mengerjakan sesuatu seperti itu lebih penting dari pada belajar? Lihat saja nilai Matematikamu, apakah sudah cukup bagus?”, sindirnya.”Apa kau tak malu? Bagaimana bisa seorang calon dokter mendapatkan nilai dua puluh lima untuk mata pelajaran Matematika?!”.
Mendengar kata-kata itu, kupingku terasa panas, seolah tak terima dengan apa yang baru saja aku dengar. Aku bangikit dari tempat dudukku dan berbalik menatap ayah.
“Cukup appa! Kenapa appa selalu seperti ini? Selalu menyuruhku belajar, belajar, dan belajar. Aku juga ingin pergi ke duniaku. Bukan dunia yang penuh angka seperti Matematika. Aku tidak suka matematika, dan aku tidak ingin menjadi dokter. Apa appa tidak tahu?!”, kataku dengan nada meninggi dan mata yang berkaca-kaca.”Oh, tentu saja appa tidak tahu, karena appa selalu sibuk dengan pekerjaan appa.”, lanjutku dengan nada suara yang masih meninggi.
Ayah terpaku mendengar kata-kataku. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan putri kecilnya. Karena belum pernah sebelumnya aku membentak dengan kata-kata seperti itu. Tapi sudah sepuluh tahun semnjak aku menginjak bangku sekolah, ayah selalu mengaturku ini dan itu. Bahkan untuk memilih cita-cita, aku tidak bisa. Semua ayah yang menentukan. Aku bukan gadis jenius yang akan selamanya mendapatkan nilai sempurna, dan aku bukan boneka milik ayah.
***
Aku berjalan melewati meja makan. Tepat ketika ayah baru saja duduk di kursinya. Aku sengaja untuk melewatkan sarapan, hanya karena tak ingin bertemu dengan ayah. Tak peduli meski ibu menahanku dan menyuruhku meminta maaf kepada ayah, aku tetap tak ingin sarapan bersamanya. Dadaku masih terasa sesak ketika mengingat kejadian malam itu. Kata-kata ayah waktu itu, masih terngiang di telingaku. Membuatku enggan untuk sekedar menyapa beliau. Entahlah, mungkin saja ayah benar dan aku yang salah. Tapi tetap saja aku masih tak terima dengan kata-katanya yang—kupikir—terlalu berlebihan.
Aku berjalan menuju halte bus. Entah mengapa, tiba-tiba saja sejak tadi padi perasaanku tak enak. Mungkinkah karena efek marah pada ayah? Apakah aku telah membuat dosa besar sehingga perasaanku tak enak seperti ini? Aku tak tahu. Sementara aku duduk menunggu bus tiba. Sepuluh menit berlalu, akhirnya bus yang kutunggu tiba. Tubuhku bergetar saat akan melangkah masuk ke dalam bus. Lagi-lagi, aku tak tahu mengapa. Rasa cemas kemudian datang, mengiringi setiap langkahku ketika berjalan di dalam bus. Bahkan ketika bus telah melaju dengan kencang, perasaan aneh ini pun tak juga hilang terbawa angin.
“OMO3! Ada kecelakaan!”, kejut seorang lelaki paruh baya yang duduk di depanku.
Aku terkejut, kemudian menengok melalui jendela di seberangku, tapi, tak terlalu jelas. Lagi pula ini bukan satu-satunya kecelakaan di Gangwon.
Aku melangkahkan kakiku memasuki pelataran rumahku. Sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Ku lihat toko bunga milik ibu juga sudah tutup. Padahal jam di pergelangan tangan kiriku masih menunjukkan pukul enam sore. Tak biasanya ibu menutup tokonya di jam seperti ini.
“Eomma, Nawaseo!”, teriakku sembari berjalan masuk rumah. Tak ada jawaban. Tepat ketika kakiku berpijak ke ruang tengah, telepon di rumahku berdering.
“Yoboseyo, Nuguseyo4?”, kataku begitu mendekatkan gangang telepon ke telingaku.
Ku dengar suara di seberang sana sedang terisak. Suara yang terdengar tak asing di telingaku. Jantungku berdebar cepat seiring dengan rasa cemas yang sedari tadi masih menyelimuti batinku. ibu, kenapa terisak seperti itu? Suaranya bergetar, seolah berusaha menahan tangis. Namun sepertinya, ibu sedang menangis sekarang. Ketika kata-katanya mulai merasuk ke dalam gendang telingaku, membuatku seolah kehilangan keseimbangan, dan ganggang telepon di tangaku terlepas. Kata-kata itu terdengar menakutkan.
***
Ae-Rin, ayahmu kecelakaan di Gangwoon. Datanglah ke rumah sakit, segera.
Aku berlari ke luar dari taksi yang baru saja kutumpangi. Menyusuri halaman yang begitu luas. Napasku tersengal. Bulir-bulir air mataku telah mengalir menerjang bukit pipi apelku. Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit. Kemudian langkahku terhenti ketika melihat ibu tengah berdiri dengan cemas di depan UGD, air matanya tengah mengalir dari sudut mata keriputnya. Aku menggigit bibir bawahku. Kemudian aku berjalan pelan mendekati ibu.
“Eomma, bagaimana keadaan Ayah?”, tanyaku cemas. Bahkan kedua kakiku bergetar.
Ibu tak menjawab. Beliau langsung memeluk tubuhku ketika bola mata hitamnya menangkap sosokku. Air matanya membasahi seragam sekolah biru yang masih melekat di tubuhku. Tangannya bergetar. Membuatku ikut bergetar. Lagi-lagi rasa cemas itu kembali menyelimuti hatiku. Kenapa Ibu menangis seperti ini? Ini membuatku takut. Takut sekali. Apa sebenarnya yang terjadi pada ayahku?
***
Aku duduk di meja belajarku bersama dengan buku-buku yang harus kupelajari. Karena sebentar lagi ujian bulan Juni yang menentukan kelulusan. Sayangnya, otakku sama sekali tak dapat menyerap semua materi yang kupelajari. Aku terus memikirkan ayah. Seminggu berlalu sejak kecelakaan itu, keadaan ayah berangsur membaik. Aku bersyukur karenanya. Namun, entah mengapa rasa takut dan cemas yang bertubi-tubi selalu saja datang menyerbu lubuk hatiku.setelah sejenak hilang dariku.
Ae-Rin, maafkan ayah. Ayah selalu sibuk, dan jarang meluangkan waktu untukmu. Ayah sering memarahimu. Maaf karena ayah membuatmu tertekan. Ayah sangat menyayangimu,nak.
Kata-kata ayah tadi sore di rumah sakit, membuatku cemas. Kenapa minta maaf? Tuhanpun tahu, aku yang lebih sering membuat kesalahan. Kata-kata ayah terdengar begitu memilukan. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa ayah akan selalu baik-baik saja. Tapi kenapa dia harus berkata seperti itu? Membuat rasa takut dan cemas itu datang bertubi-tubi.
***
“Ae-Rin, bangun sayang.”, Sayup-sayup terdengar suara wanita di dekat telingaku. Perlahan aku membuka kelopak mataku, dan mengerjap-ngerjapkan mereka.
Ketika aku membuka kelopak mataku, mereka menangkap sosok seorang wanita paruh baya tengah duduk di bibir ranjangku. Aku bangun dan menatapnya, kemudian menatap jam yang tergantung di dinding kamarku. Pukul dua dini hari. Aku kembali menatap sosok wanita paruh baya itu. Ia tersenyum manis padaku. Namun kedua bola mata cokelatnya berkaca-kaca.
“Imo5, kenapa datang sepagi ini?”, tanyaku dengan suara serak.
“Appa-mu sudah pulang.”, jawabnya sembari mengulum senyum, namun matanya terlihat berkaca-kaca. Mungkin karena dia terlalu senang.
Mendengar jawaban bibiku, aku langsung melompat dari ranjangku dan berlari ke luar kamarku. Aku berlari menuruni tangga sembari tersenyum senang. Langkahku melemah ketika kedua mataku menangkap sosok orang-orang yang datang. Mereka semua saudara kami. Namun entah mengapa jantungku berdebar begitu cepat, dan tanganku bergetar ketika melihat Ibu yang baru saja memasuki rumah dengan tangis. Bersamaan dengan paman-pamanku yang tengah menggotong seorang lelaki, yang ku tahu itu ayahku. Tapi mengapa ayah di gotong? Mengapa tidak naik kursi roda?
Aku berjalan mendekati Ibu yang baru saja masuk bersamaan dengan ayah. Ia menatapku begitu menyadari aku telah berdiri di sampingnya. Begitupun semua orang di ruang ini, mereka menatapku. Meski aku tak tahu apa arti tatapan itu sebenarnya. Kedua mata ibu memerah karena terlalu banyak menangis mencengkram kedua bola mata cokelatku yang masih lelah.
“Eomma, kenapa menangis? Bukankah Appa sudah sembuh?”, tanyaku pelan. Ibu terdiam dan masih menatapku. Air matanya, perlahan menetes.”Eomma, kenapa menangis?”, ulangku, karena Ibu tak juga menjawab. Air matanya semakin menjadi, membuat jantungku berdebar semakin cepat. Rasa takut itu kembali mendera batinku. Tiba-tiba saja ibu memelukku.
“Ae-Rin, appa-mu benar-benar sudah pulang.”, katanya di sela isak tangis.
“Iya, eomma. Tapi kenapa eomma menangis? Bukankah seharusnya kita senang?”, tanyaku.
“Appa, sudah pulang ke pangkuan Tuhan, sayang.”, jawab ibu dengan suara terisak, dan tangisnya pun kembali pecah.
Serasa mendengar gemuruh halilintar yang maha dahsyat membelah cakrawala. Merobek gendang telingaku, dan membuat jantungku seolah hampir terlepas dari tempatnya. Tubuhku melemas. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Ayah ‘pulang ke pangkuan Tuhan’? Tanpa sadar, bulir-bulir air bening meleleh keluar dari gudang air mataku. Aku menangis dalam pelukan Ibuku.
Aku duduk bersimpuh di dekat sebuah peti  mati di ruang tengah. Kedua mataku masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, begitupun otakku masih belum bisa mencerna apa yang sekarang terjadi. Di sana tengah berbaring jasad seorang pria paruh baya. Garis-garis di wajahnya membuatnya terlihat lebih tua –ah, tidak—mungkin aku yang tak menyadari bahwa ayahku selalu bertambah tua setiap harinya, dan aku malah menambah bebannya dengan tingkah kekanakanku. Saat ini, sosok itu tengah terbaring dengan mata terpejam di dalam sebuah peti mati. Tubuhnya yang kaku terbalut kain berwarna putih.
“Appa, ini Ae-Rin.”, kataku dengan suara parau, karena tengah berusaha menahan tangis.”Kenapa appa pergi secepat ini? Aku masih lima belas tahun, tapi kenapa appa meninggalkanku? Apakah Ae-Rin nakal?”, bibirku bergetar sehingga aku menggitnya untuk sekedar menahannya bergetar. Aku tak ingin terlihat lebih menyedihkan.” Maaf, appa, Ae-Rin yang salah. Tak seharusnya Ae-Rin marah. Tak seharusnya Ae-Rin membentak appa seperti itu.”, air mataku kembali menetes.”Apakah Appa sudah lelah mengurus Ae-Rin? Ku mohon kembalilah appa. Ae-Rin janji akan berbakti pada appa.”, Air mataku mengalir semakin deras. Tak peduli seberapa kuat aku menahannya, mereka tetap saja mengalir dengan derasnya.
“Sudahlah, iklaskan saja ayahmu pergi, sayang. Berdo’alah agar Tuhan menyayanginya di sana.”, Kata bibi Anne yang kemudian mengelus lembut pundakku.
***********
Hujan bulan Maret, adalah sisa dari musim dingin. Sebuah payung kuning menaungiku. Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dengan serasah daun maple yang basah karena hujan. Sepanjang perjalanan, tercium aroma krisan yang menyeruak ke dalam rongga hidungku. Sedangkan pohon-pohon di sekitarku telah menampakkan dauh mudanya. Begitupun bunga-bunga kecil di tepian jalan setapak ini. Aku masih melangkah, hingga akhirnya berhenti di sebuah tanah lapang yang amat luas. Sejauh mata memandang, hanya terlihat gundukan tanah yang cukup tinggi dan bebatuan nisan.
Aku duduk bersimpuh di tepi gundukan tanah yang diatasnya telah dipenuhi rerumputan yang tumbuh subur dan indah. Kemudian membersihkan dedaunan kering yang basah terkena embun di atasnya.
“Appa, bagaimana kabarmu di sana? Apakah baik-baik saja? Hari ini, sepertinya sudah musim semi. Sayang sekali, kami tak bisa melewatinya dengan appa. Apa kau ingat saat kita pergi ke pantai tahun lalu? Hari itu begitu menyenagkan. Tapi, jikalau aku tahu hari itu adalah hari terakhir kita pergi bersama, aku tak akan menyia-nyiakan waktuku untuk berdebat dengan appa. Tak seharusnya aku seperti itu, seharusnya aku lebih menghargai waktuku dengan ayah. Appa, kami selalu merindukanmu. Setiap hari aku selalu berdo’a untuk appa. Maafkan Ae-Rin, karena belum bisa menuruti kemauan appa. Ae-Rin banyak membantah.”, air mataku mulai menetes.” Ae-Rin tidak ingin menjadi seorang putri yang durhaka pada appa. Ae-Rin tahu, appa sangat menyayangi Ae-Rin, dan Ae-Rin juga sangat menyayangi ayah.”, kini air mata yang tadinya hanya berupa tetesan, telah mengalir deras di pipiku.
Aku bangkit dan membalikkan tubuhku. Aku melangkahkan kakiku, bersiap meninggalkan pemakaman ini. Sebelumnya, ku hapus terlebih dahulu bulir-bulir air mata yang tersisa di bukit pipi apelku. Kemudian berjalan meninggalkan pemakaman ini. Namun sebelum itu, aku meletakkan setangkai dandelion yang kuperoleh di sisi jalan setapak yang ku lewati. Meski bukan musim gugur, aku tidaak tahu mengapa bisa ada dandelion di musim semi.
Hari ini, tepat setahun kematian Ayahku. Seperti hari ketika ayah datang ke rumah dengan tubuh kaku. Bersamaan dengan angin musim semi yang berhembus dingin. Yang mungkin lebih dingin dari tongkat peri es. Kala itu, bagiku, bukan musim semi yang datang, melainkan musim gugur. Saat di mana bunga sakura mulai bermekaran dan pepohonan ceri mulai menampakkan daunnya. Namun di lubuh hatiku yang paling dalam, aku merasakan guguran daun maple yang jatuh dan bulir-bulir dandelion mengenai tubuhku. Kemudian tersibak oleh angin musim gugur yang mulai dingin. Aku menyebutnya, guguran musim semi.

Sabtu, 10 Mei 2014

Kim Yoo Jung Yeo Jin Goo









Pita Biru 1






Part 1

Geum-young menaiki anak tangga di depannya. Langkahnya berat, ia menghembuskan napas keras-keras. Padahal masih beberapa anak tangga lagi yang harus ia lewati untuk sampai di lantai tiga, kelasnya. Tubuhnya lemas, serasa tak ada roh di dalamnya. Sedangkan beberapa orang di belakangnya telah melangkah melewatinya. Tapi tetap saja, Geum-Young masih melangkah dengan berat.
Tiba-tiba saja muncul bayangan seorang lelaki yang tengah berjalan di belakangnya. Lelaki itu tinggi. Bahkan suara napasnya pun terdengar di telinga Geum-Young. Ia mencoba menerka siapa lelaki di belakangnya itu. Apakah dia? Batinnya. Hembusan napas itu terdengar begitu dekat, dan semakin dekat. Hingga akhirnya sosok lelaki tinggi di belakanya tadi, berjalan mendahuluinya. Geum-Young membulatkan matanya begitu melihat siapa sosok itu. Seolah ada keterkejutan dan sesuatu yang aneh ketika melihatnya.
“Memang benar, kau orangnya.”, gumamnya pelan.
Geum-Young masih menatap lelaki itu, hingga orang itu masuk ke dalam kelasnya sendiri. Lelaki tinggi dengan pita biru muda yang dirangkai menjadi bentuk bintang di tasnya. Masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya, sebelum langkah kaki seorang lelaki paruh baya membawanya. Hari ini, untuk pertama kalinya ia melihatnya kembali. Meski wajah lelaki itu tak seperti waktu itu, Geum-Young yakin , dia orangnya. Karena pita biru seperti itu, hanya ada satu di dunia.
***********
Geum-young berdiri di blangkon kelasnya sembari menatap pemandangan di bawahnya. Sesekali ia tersenyum. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, membuatnya bergoyang karena hembusan angin musim panas yang hangat. Otaknya kembali berputar, teringat akan sesuatu yang telah lama berlalu.
“Geum-Young, jangan lari! Kau harus mengembalikan sepatuku dulu!”, teriak seorang anak laki-laki sembari berlari mengejar Geum-Young.
“Tidak akan. Kau telah mencuri tuts pianoku.”, balas Geum-Young kecil sembari berkacak pinggang.
“Awas kau, aku akan menciummu!”, teriak anak laki-laki itu lagi.
Geum-Young terkikik geli. Kata-kata yang keluar dari mulut anak laki-laki itu terdengar lucu. Mereka bahkan belum genap berumur tujuh tahun, bagaimana bisa anak itu mencium Geum-Young?
“Apakah kau sedang menertawakan Sesutu?”, celetuk seseorang.
Geum-Young yang masih terkikik itu pun segera menoleh mendengarnya. Karena orang itu sedikit membuatnya kaget. Namun setelah menatap sosok itu, ia lebih kaget lagi. Jantungnya terpacu satu setengah kali lebih cepat.
“Astaga! Kang Seung Ho.”, gumanya lirih.

To Be Continue…….