Entri Populer

Jumat, 27 Mei 2016

Sebuah Pengakuan


“Aku menyukaimu.”, katanya dengan kepala menunduk.
Ada jeda di antara mereka berdua, cukup panjang dan beku. Ia menatap ujung sepatunya yang nampak kusam, warna merah yang memudar. Jantungnya berdebar tiga kali lebih cepat, membuat seluruh tubuhnya bergetar. Kalimat itu terlontar begitu saja. Entahlah, rasanya seperti kesalahan. Tapi ia penasaran, bagaimana reaksi lelaki di depannya itu. Kemudian, ia perlahan mengangkat kepalanya.
“Maaf.”, kata lelaki itu, “Tapi kau sudah mengetahui semuanya, dan kau tahu jawabannya.”.
Gadis itu sama sekali tak mengubah ekspresinya, ia tersenyum. Seolah ia tahu ini akan terjadi. Debar jantungnya perlahan melambat, seiring dengan kedua kakinya yang melemas. Ia memberanikan diri menatap lelaki itu, menatap mata gelapnya. Aneh, ia tak melihat apapun di matanya. Lelaki itu membeku, dia dingin.
“Ya, aku tahu. Aku pun tak menginginkan apapun darimu. Hanya saja, aku rasa aku harus mengatakannya.”, gadis itu mulai berceloteh, “Aku menyukaimu sejak kita duduk di kelas yang sama, lima tahun yang lalu. Sampai saat ini pun aku masih menyukaimu. Aku tahu, ada orang yang kau sukai, tapi aku tak pernah berharap lebih. Aku lebih suka menjadi temanmu. Mendengarmu memanggilku, rasanya menyenangkan.”,
“Kau tahu alasanku.”,
Lagi-lagi pembicaraan ini terdengar seperti kesalahan. Gadis itu meruntuki dirinya sendiri. Tapi ia terlanjur bicara. Mendadak lidahnya kelu, tak bisa bicara. Ia terjebak dalam pikirannya sendiri. Tanpa sadar ia meremas ujung seragamnya.
“Bisakah kita tetap berteman?”, Tanya gadis itu, ia sedikit khawatir.
“Tentu saja, kita tetap berteman.” Jawab lelaki di depannya, lima detik kemudian ponselnya berbunyi. Bahkan eksprsi wajahnya masih datar ketika mengecek ponselnya. “Aku harus pergi.”,
“Pergilah, dan………terima kasih untuk semuanya.”,
Lelaki itu berbalik dan berjalan menjauh. Gadis itu pun tersenyum, tapi tubuhnya mendadak terasa ringan, ia lemas kemudian jatuh terduduk. Matanya masih menatap ke depan, tapi lelaki itu sudah tak terlihat lagi. Perlahan cairan bening menetes dari pelupuk matanya.
“Apa yang kulakukan……”, gumamnya sembari memeluk kedua lututnya. Potongan ingatannya muncul, sesuatu yang ia sebut kenangan.

Aku tak berharap kau membalas perasaanku. Kalau setelah ini kita menjadi orang asing, apa boleh buat? Setelah hari itu kau seperti orang asing. Entah apa yang ada dalam pikiranmu. Aku tak tahu kapan bisa melihatmu dengan senyuman manis dan mata yang berbinar seperti yang kau perlihatkan sebelumnya. Aku tak menunggu hari ini untuk mendengarkan pengakuan bahwa kau juga menyukaiku. Aku tak berharap kau memiliki rasa yang sama terhadapku. Aku menunggu waktu untuk menghapus jejakmu. Tapi terima kasih, karena kau menorehkan kisah yang indah untukku. aku tak akan lupa hal-hal kecil yang pernah kau lakukan untukku. Aku menyukaimu.

Kamis, 24 Maret 2016

Kamu Bukan Arang

Bahkan aku masih bisa mencium aromamu, meski hampir sepuluh jam berlalu. Kau bukan arang, selamanya akan menjadi kayu.

Aku mendapati diriku tengah memeluk kedua lutut dan membenamkan kepalaku di antara lengan yang terlipat, di sudut jiwaku. Suara hujan di luar sana terdengar semakin lirih seolah tertinggal gerimis. Angin dingin membelai nakal, aroma lumut dan rumput basah ikut menguar. Aku lelah, sakit, seolah dua barbell mungil menimpa kedua pundakku. Kecil, ya, tapi itu barbell. Bahkan meski aku memejamkan mata dan menyelinap ke alam lain rasa sakitnya masih terasa. Aku terbangun, dan mendapati bayangan menyedikan di dalam cermin yang buram, berdebu. Mata yang sembab. Sekilas bayangan menyedikan melintas bak kaset film lawas yang diputas kembali. Biru.
Hari itu, jumat sore, kau datang ke rumahku tepat ketika hujan tenga turun. Aku jelas-jelas melihatmu memakai mantel abu-abu yang bagian lehernya sudah robek. Lucu, pikirku. Sama sekali tak sadar dengan kilat yang akan membawa gemuruh. Ya, kemudian aku mendengarnya darimu. Tiba-tiba saja suara hujan di luar sana terdengar lebih keras, seperti suara jeritan. Aku tersenyum garing, konyol. Tanpa sadar cairan hangat menetes dari sudut mataku. Aku berharap ini hanya potongan mimpi buruk di siang hari. Kau mulai berceloteh dengan suara bergetar, dan aku parau, menatap nanar kepadamu. Kau mengalihkannya, seolah mengabaikan reaksiku, dengan menatap ponsel berkali-kali. Aku tahu, ada ribuan kata yang tertahan di sana, karena kau diam. Sesak, aku merasa terhimpit dua tembok. Sulit untuk percaya dengan apa yang kudengar.
Lagi-lagi bayangan tentang hari yang telah berlalu, saat kau berlari sambil memanggil namaku karena tugas Fisika yang seharusnya kita kumpulkan, itu mirip adegan Futaba dan Kou. Sejenak aku tertegun, tapi itu hanya mini drama. Kemudian saat kau menawarkan payungmu, selamanya aku tak akan melupakan ini. Tapi aku terlalu hanyut dalam imajinasiku sendiri. Aku tak menyadari sesuatu telah terjadi, padamu. Saat aku menyadarinya, semua terlambat, sangat jauh. Waktu itu aku tak tahu apa yang terjadi padamu. Kedua matamu membisu, kaku. Tapi aku menangkap amarah dan kekecewaan di sana, rasa sakit yang terpendam. Mungkin kau tidak tahu—atau mungkin pernah—aku selalu menatapmu dari tempat dudukku. Aku melihatmu menundukkan kepala dalam-dalam, kadang tertidur, melamun, bahkan membaca kitab suci. Apa yang terjadi sebenarnya?
Kau membeku dan berlalu begitu bel pulang sekolah berbunyi. Tak ada senyum yang kutangkap dari sepasang mata indah itu. Tak terdengar gelak tawa lepas dari mulutmu. Sebegitu beratkah masalah yang kau pendam? Aku bertanya dalam hati, tapi tak ada jawaban.
Sampai hari itu datang, jawabannya ada padamu. Aku membeku, bibirku bergetar ketika mengulangi kata-katamu. Suaramu bergetar, dan kedua matamu mulai berair. Jadi itu sebabnya, kebekuanmu selama ini. Tanpa kau sadari, aku meremas rokku. Aku masih tak bisa menerimanya. Lidahku kelu, tak sanggup merangkai kata.
Aku mempercayaimu lebih dari diriku sendiri. Aku sakit melihatmu seperti itu, seperti diremas dan ditusuk dengan ujung tombak yang tumpul. Melihatmu seperti itu, membawaku mengirup asap arang yang pekat. Tidak, kau bukan arang, aku tak akan menganggapmu seperti itu. Baiklah, sebut aku gila, tapi ini pun terdengar gila. Bernarkah aku hanya menyukaimu? Masa bodoh, apakah itu suka atau bukan, yang jelas aku merasa sesak. Hari-hari berikutnya hanya berlalu begitu saja, kau tau kenapa? Karena kau tak tersenyum seperti biasanya. Kau seperti orang asing. Ada kabut menyebalkan di wajahmu.
Sosok yang sama, tapi rasa yang berbeda. Kau yang sekarang, bukan sosok yang kutemui hari itu. Ya, pagi itu di tangga sekolah, jantungku mulai berdebar aneh karena mendengar langkah kakimu. Hanya dengan itu, meski tanpa menoleh ke belakang, aku tahu itu kau. Kau yang sekarang, bukan sosok yang tersenyum padaku seperti hari itu, di bawah sinar mentari yang keemasan, hangat seperti senyumanmu. Perlahan imaji itu lenyap, tapi aku tau, mereka tak akan benar-benar lenyap. Seperti jejakmu yang masih kulihat di pelataran rumahku, aroma parfummu yang ringan dan menyenangkan, aku tak bisa lupa.
Meski kau bilang, kau sudah menjadi arang, tapi aku tak pernah menganggapmu seperti itu. Kau bukan arang, bakan jika menjadi arangpun, aku akan memungutnya, membawanya ke dalam perapianku, tanpa pernah membakarnya lagi. Tidak, kau bukan arang, selamanya kau adalah kayu.
Izinkan aku menjadi temanmu, aku tak akan meminta lebih. Izinkan aku memelukmu dalam do’a ku, supaya aku dapat menangis bersamamu di pangkuan-Nya. Izinkan aku berjalan di sekitarmu, meski tak bisa berada di sisimu. Semua akan baik-baik saja.

Aku mendapati diriku tengah memeluk kedua lutut dan membenamkan kepalaku di antara lengan yang terlipat, di sudut jiwaku. Suara hujan di luar sana terdengar semakin lirih seolah tertinggal gerimis. Angin dingin membelai nakal, aroma lumut dan rumput basah ikut menguar. Aku lelah, sakit, seolah dua barbell mungil menimpa kedua pundakku. Kecil, ya, tapi itu barbell. Bahkan meski aku memejamkan mata dan menyelinap ke alam lain rasa sakitnya masih terasa. Aku terbangun, dan mendapati bayangan menyedikan di dalam cermin yang buram, berdebu. Mata yang sembab. Sekilas bayangan menyedikan melintas bak kaset film lawas yang diputas kembali. Biru.
Hari itu, jumat sore, kau datang ke rumahku tepat ketika hujan tenga turun. Aku jelas-jelas melihatmu memakai mantel abu-abu yang bagian lehernya sudah robek. Lucu, pikirku. Sama sekali tak sadar dengan kilat yang akan membawa gemuruh. Ya, kemudian aku mendengarnya darimu. Tiba-tiba saja suara hujan di luar sana terdengar lebih keras, seperti suara jeritan. Aku tersenyum garing, konyol. Tanpa sadar cairan hangat menetes dari sudut mataku. Aku berharap ini hanya potongan mimpi buruk di siang hari. Kau mulai berceloteh dengan suara bergetar, dan aku parau, menatap nanar kepadamu. Kau mengalihkannya, seolah mengabaikan reaksiku, dengan menatap ponsel berkali-kali. Aku tahu, ada ribuan kata yang tertahan di sana, karena kau diam. Sesak, aku merasa terhimpit dua tembok. Sulit untuk percaya dengan apa yang kudengar.
Lagi-lagi bayangan tentang hari yang telah berlalu, saat kau berlari sambil memanggil namaku karena tugas Fisika yang seharusnya kita kumpulkan, itu mirip adegan Futaba dan Kou. Sejenak aku tertegun, tapi itu hanya mini drama. Kemudian saat kau menawarkan payungmu, selamanya aku tak akan melupakan ini. Tapi aku terlalu hanyut dalam imajinasiku sendiri. Aku tak menyadari sesuatu telah terjadi, padamu. Saat aku menyadarinya, semua terlambat, sangat jauh. Waktu itu aku tak tahu apa yang terjadi padamu. Kedua matamu membisu, kaku. Tapi aku menangkap amarah dan kekecewaan di sana, rasa sakit yang terpendam. Mungkin kau tidak tahu—atau mungkin pernah—aku selalu menatapmu dari tempat dudukku. Aku melihatmu menundukkan kepala dalam-dalam, kadang tertidur, melamun, bahkan membaca kitab suci. Apa yang terjadi sebenarnya?
Kau membeku dan berlalu begitu bel pulang sekolah berbunyi. Tak ada senyum yang kutangkap dari sepasang mata indah itu. Tak terdengar gelak tawa lepas dari mulutmu. Sebegitu beratkah masalah yang kau pendam? Aku bertanya dalam hati, tapi tak ada jawaban.
Sampai hari itu datang, jawabannya ada padamu. Aku membeku, bibirku bergetar ketika mengulangi kata-katamu. Suaramu bergetar, dan kedua matamu mulai berair. Jadi itu sebabnya, kebekuanmu selama ini. Tanpa kau sadari, aku meremas rokku. Aku masih tak bisa menerimanya. Lidahku kelu, tak sanggup merangkai kata.
Aku mempercayaimu lebih dari diriku sendiri. Aku sakit melihatmu seperti itu, seperti diremas dan ditusuk dengan ujung tombak yang tumpul. Melihatmu seperti itu, membawaku mengirup asap arang yang pekat. Tidak, kau bukan arang, aku tak akan menganggapmu seperti itu. Baiklah, sebut aku gila, tapi ini pun terdengar gila. Bernarkah aku hanya menyukaimu? Masa bodoh, apakah itu suka atau bukan, yang jelas aku merasa sesak. Hari-hari berikutnya hanya berlalu begitu saja, kau tau kenapa? Karena kau tak tersenyum seperti biasanya. Kau seperti orang asing. Ada kabut menyebalkan di wajahmu.
Sosok yang sama, tapi rasa yang berbeda. Kau yang sekarang, bukan sosok yang kutemui hari itu. Ya, pagi itu di tangga sekolah, jantungku mulai berdebar aneh karena mendengar langkah kakimu. Hanya dengan itu, meski tanpa menoleh ke belakang, aku tahu itu kau. Kau yang sekarang, bukan sosok yang tersenyum padaku seperti hari itu, di bawah sinar mentari yang keemasan, hangat seperti senyumanmu. Perlahan imaji itu lenyap, tapi aku tau, mereka tak akan benar-benar lenyap. Seperti jejakmu yang masih kulihat di pelataran rumahku, aroma parfummu yang ringan dan menyenangkan, aku tak bisa lupa.
Meski kau bilang, kau sudah menjadi arang, tapi aku tak pernah menganggapmu seperti itu. Kau bukan arang, bakan jika menjadi arangpun, aku akan memungutnya, membawanya ke dalam perapianku, tanpa pernah membakarnya lagi. Tidak, kau bukan arang, selamanya kau adalah kayu.
Izinkan aku menjadi temanmu, aku tak akan meminta lebih. Izinkan aku memelukmu dalam do’a ku, supaya aku dapat menangis bersamamu di pangkuan-Nya. Izinkan aku berjalan di sekitarmu, meski tak bisa berada di sisimu. Semua akan baik-baik saja.

Kamis, 24 Desember 2015

Hanya Coretan Untukmu


Sebersit ingatan manis kembali muncul. Seperti potongan cerita dalam film lama. Ini tentangmu, kawan. Kau, si pemilik mata ikan. Yang sering bertingkah konyol dan lucu.
Hai, ini bulan Desember. Musim hujan yang indah, menurutku. Entah sejak kapan aku menyukai hujan, aku tak tahu. Apakah sejak aku mengenalmu? Mungkin saja. Tapi kenapa? Aku sendiri tak tahu.
Aku tak tahu sejak kapan ini dimulai. Aku mendengar melodi indah tengah mengalun lembut. Sesuatu yang hangat menjalari tubuhku, dan secercah rasa manis mulai menghampiri. Ketika semua membaur, itu menakjubkan, sulit untuk diungkapkan. Hari itu, ketika aku mendengar langkah kaki dan hembusan napas di belakangku, si tangga sekolah. Entah mengapa jantungku berdebar lebih cepat. Deretan imajinasi bergumul di kepalaku. Kemudian ketika pemilik kaki itu memaluiku, napasku terhenti sejenak. Aku tercekat. Ini lucu, seperti cerita dalam drama. Hari berikutnya aku mulai berkutat dengan rentetan kata yang tertulis rapi dalam jurnalku. Membentuk sebuah cerita. Ya, aku mendapatkan inspirasi setelah hari itu.
Apa kau tahu, aku selalu memperhatikanmu diam-diam. Aku menatapmu dari tika kau berlarikanmu diam-diam. di yang tertulis rapi dalam jurnalku. membentuk bangkuku. bahkan ketika kita tak berada dalam kelas yang sama, aku masih melakukannya. Menatapmu ketika berdiri di tepi lapangan, di sisi tiang bendera. Berusaha mengajakmu bicara atau menyapamu, dengan menyembunyikan sesuatu yang tak boleh kau ketahui. Aku senang ketika kau tersenyum dan melambai kepadaku. Senang sekali, bahkan lebih dari itu.
Suatu hari kita pernah bertemu, di tempat yang tak terduga, di bawah langit sore yang keemasan. Aku spontan melambai ke arahmu, meski sedikit kikuk. Kau tersenyum lebar, membuat matamu jauh lebih berbinar. Meski kemudian terlontar cerita sedih dari bibirmu.
Kemudian—aku tak pernah melupakan hari ini—sepertinya itu kejutan untuk ulang tahunmu. Gadis itu berdiri di depanmu dengan sebuah cake ditangannya. Astaga, itu kekasihmu. Ia tersenyum, dan aku melihatmu tersenyum kikuk. Semua orang di tempat itu bersorak, termasuk aku. Meski sebenarnya ada rasa aneh yang menjalari tubuhku.
Kau tahu, kadang-kadang aku berpikir kau menyukaiku. Saat kau tersenyum dan menatapku dengan jeda, seolah ada yang tersirat di mata gelapmu. Seperti waktu pelajaran Biologi, kau memanggilku, kemudian menatapku, tapi kau bilang ‘tidak ada apa-apa’. Aku tahu tak seharusnya aku berpikir seperti itu. Aku tahu kau memang orang baik, dan selalu bersikap seperti itu pada orang lain. Tidak, aku benar-benar tak berharap banyak. Aku juga tak berpikir untuk mengutarakan semuanya padamu. Aku tak berharap kau mengetahuinya.
Ada beberapa orang yang pernah mencuri perhatianku. Tapi, aku tak pernah benar-benar tertarik dan menyimpannya dalam jangka waktu yang lama. Tak sepertimu.
Aku akan menyimpannya sendiri. Tak apa seseorang menyebutnya ‘bertepuk sebelah tangan’. Melihatmu tersenyum seperti itu sudah membuatku senang. Lagi pula, aku tak ingin menjadi serakah. Bagiku ini sudah cukup. Biar semua mengalir seperti tetes hujan. Terima kasih, karena ketika aku menulis aku selalu membayangkan tentangmu. Meski rasanya aneh dan tak menentu, aku tak akan melupakannya, bahwa aku pernah menyukaimu.

Senin, 21 Desember 2015

Muda Mudi Bahari (Esai)


Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki alam yang sangat memesona. Dari Sabang sampai Merauke terdapat banyak pulau dengan berbagai keunikan tersendiri. Bukan hanya unik, namun juga kaya budaya. Selain budaya, yang menjadi daya tarik Indonesia adalah wisata bahari. Mendengar ‘bahari', mungkin Anda akan langsung tertuju pada Bali. Padahal bukan hanya Bali saja yang memiliki pantai indah, masih banyak tempat eksotis lain yang tak kalah menarik selain pulau kecil berbentuk ayam itu. Misalnya Raja Ampat, Lombok, Kepulauan Riau, dan masih banyak lagi.
Bagaimana tidak menakjubkan, siapapun bisa menemukan hal-hal luar biasa di negara dengan lautannya yang luas. Indonesia memiliki harta karun yang tersembunyi di bawah birunya ombak, seperti minyak bumi. Gundukan karang di dalam arus dengan warna-warni ikan yang berenang lincah. Birunya air laut berkilauan tertimpa cahaya matahari tropis yang selalu menjadi buruan turis asing. Belum lagi kuliner laut dengan bumbu rempah-rempah khas yang menebarkan aroma menggoda. Tanaman bakau yang menghiasi bibir pantai dengan jembatan kayu yang membelah beberapa bagiannya, akan terlihat indah ketika matahari terbenam.
Terumbu karang, bakau, dan ikan adalah bagian dari alam yang wajib dilestarikan. Mengingat laut kita lebih luas daripada daratannya, sehingga membutuhkan perawatan yang lebih besar. Dari laut itu pulalah timbul berbagai masalah yang lambat laun akan berpengaruh pada kelangsungan hidup manusia. Seiring dengan berjalannya waktu daratan akan terkikis oleh gelombang air laut. Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Atau paling tidak bagaimana cara untuk memperlambat keadaan yang lebih buruk terjadi.
Dalam hal ini peran pemuda sangat dibutuhkan. Jika kita hanya mengandalkan para orang tua untuk memulai, sebenarnya itu salah. Seharusnya yang berperan paling besar adalah pemuda, karena mereka dianggap memiliki inovasi dan kreasi yang lebih kreatif dan segar. Hal ini dibuktikan dengan maraknya komunitas pecinta alam, terutama alam bahari. Seperti yang telah disebutkan di atas, laut memiliki peran yang sangat besar terlebih jika menyangkut negara kepulauan. Sebagai contoh adalah hutan mangrove. Di wilayah Indonesia terdapat banyak sekali hutan mangrove yang membentang hijau dengan akar yang mencengkeram di dasar lumpur. Meskipun belum semua wilayah pesisir mampu mengembangkan tanaman mangrove, paling tidak orang sudah mulai menyadari pentingnya bakau, dan mulai berbondong-bondong melakukan penanaman bakau di sekitar pantai daerahnya. Penanaman dan perawatannya pun tak lepas dari peran para pemuda. Banyak sekali pemuda yang terjun bersama komunitasnya untuk ikut merawat hutan bakau. Biasanya mereka tergabung dalam ‘Karang Taruna'. Mulai pembibitan, penanaman, dan perawatan. Selain itu, ada juga komunitas pecinta karang yang rela menyelam dan menyisihkan sebagian waktunya untuk menanam bibit karang yang dibuat dari potongan karang hidup.
Bukan hanya itu, negara kepulauan ini pun masih memiliki segudang kekayaan bahari yang melimpah, namun sayang belum dapat mengolahnya dengan baik. Minyak bumi misalnya. Kita memiliki sumber daya minyak yang melimpah ruah yang tertanam di dasar laut, dengan itu harusnya dapat membuat negara ini maju, tapi nyatanya Indonesia masih belum bisa. Jangankan minyak bumi, kita pun masih belum bisa memaksimalkan hasil laut seperti ikan.
Masalah yang dihadapi sebenarnya bukan karena kita bodoh, hanya saja masih belum memiliki inovasi dan kreasi yang lebih mutakhir. Kalau sudah seperti ini, siapa lagi yang akan bertindak kalau bukan pemudanya. Pemuda penerus bangsa. Pemuda menjadi tolok ukur dalam kemajuan suatu bangsa. Jika kualitas pemudanya baik, maka bangsa itu dapat mengalami kemajuan. Tapi sayang, pemuda yang memiliki tekad kuat untuk mengubah hidupnya kebanyakan berada pada garis kemiskinan, sehingga sulit untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bukan tidak mungkin mereka akan sukses di masa depan. Seperti Menteri Kelautan kita sekarang, Menteri Susi, seorang menteri yang hanya lulusan SMP tapi mampu melakukan perubahan besar untuk laut Indonesia, sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat pesisir.
Bayangkan saja jika kita hanya mengandalkan para orang tua. Tenaga tua mereka mungkin terbatas jika harus mengerjakan semua itu sendirian. Tentu saja, pemuda harus mampu meneruskan perjuangan mereka.
Dengan banyaknya ‘harta' berharga yang dimiliki Indonesia, sudah selayaknya masyarakat dapat menjaganya agar tidak rusak bahkan hilang. Hal ini tentu saja tak lepas dari para pemuda penerus bangsa. Mengapa demikian? Karena suatu bangsa yang besar tidak akan lepas dari peran pemudanya. Kekayaan bangsa ini adalah harta yang harus dijaga dengan baik, apabila hilang sedikit saja, tidak akan bisa kembali lagi.

Minggu, 26 April 2015

Pita Biru (Part 3 + 4)

PART 3 + 4
Geum-Young berjalan menelusuri lorong di lantai tiga. Melewati deretan siswa-siswi yang tengah berdiri di sepanjang koridor. Matanya lurus ke depan. Ia bahkan tak melihat Hee Jin yang tengah mengobrol dengan temannya sedang mencibir ke arahnya. Ia kemudian naik ke lantai tujuh. Deretan kelas di sana nampak sepi. Tak terlihat kerumunan siswa-siswi di sepanjang koridornya. Langkahnya terhenti di sebuah ruang kelas yang berjarak dua kelas dari tangga. Ia membuka knop pintu ruang kelas itu perlahan. Meski demikian, suara decitan dari knop pintu tersebut terdengar cukup keras. Setidaknya di telinganya sendiri.
Geum-Young melangkahkan kakinya memasuki ruangan tersebut. Kedua matanya menelusuri seluruh sudut ruangan. Kemudian berhenti pada sebuah piano yang terletak di sudut ruangan bagian belakang. Ia berjalan mendekati piano tersebut. Dengan iseng menekan beberapa tuts piano yang nampak putih mengkilat.
“Seungho-ya, kalau sudah besar nanti aku akan menjadi seorang pianis yang hebat.”, kata Geum-Young kecil sembari asal menekan tuts piano di depannya.
Geuromyo[1]. Kau harus menunjukkannya padaku kelak.”, balas Seung-Ho yang saat itu tengah duduk di samping Geum-Young.”Lalu, kau juga harus berdandan yang cantik.”, lanjutnya yang sontak membuat Geum-Young terkikik geli.
Geum-Young terkikik geli mengingatnya. Seung-Ho selalu bertingkah genit, padahal mereka masih kecil.
“Hei, gadis aneh! Apa yang sedang kau tertawakan?”, celetuk seseorang yang tiba-tiba menyembulkan kepalanya dari balik meja.
Geum-Young hampir saja melompat karena kagetnya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa ada orang lain di dalam ruangan itu selain dirinya. Ia lebih terkejut lagi ketika menyadari siapa sosok yang saat ini tengah bersamanya.
*********
Sayup-sayup terdengar suara tuts piano yang tengah menjerit tanpa irama. Perlahan Min-Ho menggerakkan kepalanya yang tengah bersembunyi di balik kedua lengannya. Ia menegakkan kepalanya. Matanya menangkap sosok seorang gadis yang tengah berdiri di sudut piano yang tak jauh dari pintu masuk. Gadis itu, lagi-lagi tertawa sendirian. Tidak, bukan tertawa, tapi ia hanya terkikik geli.
“Hei, gadis aneh! Apa yang sedang kau tertawakan?”, katanya tiba-tiba.
Gadis itu terperanjat. Ia hampir saja melompat dari tempatnya. Sepertinya, gadis itu tak menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya di ruangan ini.
“K-kau…..?”, suaranya tergagap.
Min-Ho bangkit dari duduknya, ia berjalan mendekati gadis itu. Sedangkan gadis itu masih tak bergeming dari tempatnya. Ekspresi keterkejutannya masih belum hilang. Tapi kemudian, raut wajahnya berubah. Gadis itu menatap lekat Min-Ho. Kedua manik mata di dalam iris yang berwarna cokelat membaur dalam matanya yang hitam. Sedetik kemudian, Min-Ho dapat melihat cairan bening yang menggenang di matanya. Gadis itu tidak menangis—tidak—dia berkaca-kaca. Mata itu seolah sedang mencari jawaban. Membuatnya sedikit iba.
“Apakah, kau…. Sama sekali tak mengingat siapa aku?”, tanya gadis itu. Min-Ho terdiam, ia hanya tak mengerti apa maksud gadis yang tengah berdiri di depannya.”Kenapa namamu Kang Min-Ho?”,
Busun suriya[2]?”, Min-Ho bingung.
“Yak! Choi Geum-Young! Apa yang kau lakukan?!”. Teriak seseorang yang sontak membuat Min-Ho dan gadis di depannya menoleh ke sumber suara.
Park Hee Jin, kekasihnya. Kini tengah berjalan ke arahnya dengan tatapan membunuh. Tapi, sepertinya tatapan itu bukan ditujukan kepadanya. Melainkan untuk gadis di depannya.
“Apa kau tidak mendengarkanku? Aku sudah memperingatkanmu untuk tak mendekati kekasihku. Apa kau menyukainya? Huh?”, tanya Hee Jin. Suaranya tak begitu keras. Tapi nada bicaranya mengerikan.
Min-Ho hanya pasrah ketika kemudian Hee Jin menarik lengannya. Ia hanya menurut tanpa membantah. Untuk terakhir kalinya—sebelum meninggalkan pintu—ia menoleh pada gadis tadi. Ada sesuatu yang berkelebat dalam ingatannya. Namun, ia sendiri tak begitu mengingatnya dengan jelas. Choi Geum-Young? Itukah namanya? Entahlah, sepertinya Min-Ho pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Geum-Young duduk termenung di dalam kelasnya. Matanya menatap ke luar jendela. Menerobos gumpalan mendung yang menggelayuti langit. Merasakan sepi yang menghempaskan dirinya di antara keramaian. Otaknya masih sibuk mencerna keadaan.
“Kang Seung-Ho, Kang Min-Ho…..”, gumamnya lirih,”Aiiisshh, apa ini.”, runtuknya pada dirinya sendiri kemudian mengacak rambutnya.
Ya[3]! Kenapa kau selalu mendekati Minho ku?”, tanya Hee Jin yang tiba-tiba muncul di depan Geum-Young sembari mengerucutkan bibir cherry miliknya. Ia duduk di meja Geum-Young.
“Aku tidak mendekatinya. Kami hanya tidak sengaja bertemu.”, elak Geum-Young.”Hanya saja, dia seperti seseorang yang ku kenal.”, gumamnya lirih seolah pada dirinya sendiri
Andwee[4]! Dia Minho ku. Mana mungkin kau mengenalnya. Sedangkan kau baru masuk semester ini. Aku mengenalnya sejak kelas tiga SMP, dan kami sudah berhubungan selama dua tahun.”, celoteh Hee Jin,”Jangan bilang dia seperti pacarmu.”, ancamnya sembari menyipitnya kedua mata bulatnya. Namun bagi Geum-Young, itu tidak terdengar seperti ancaman.
“Orang itu bukan pacarku, tapi temanku. Teman yang….”, Geum-Young tak meneruskan ucapannya.
“Kenapa kau mengira seperti itu?”,
“Pita biru itu, yang tergantung di tasnya. Itu, aku yang membuatnya.”
“Jangan asal bicara. Bukan hanya kau yang bisa membuatnya. Apa kau tak pernah melihat barang seperti itu di gantung di setiap toko penjual asesoris di Dongdaemun? Huh?”,
Jongmal [5]?”, tanya Geum-Young.
Kemudian ia berpikir. Kembali menjelajah di antara syaraf-syaraf otaknya. Kalau benar apa yang dibilang Hee Jin, berarti selama ini Geum-Young salah. Ia salah mengenali orang. Selama ini, ia benar-benar hanya melihat dari pita biru itu. Ia belum memastikan hal yang lain.
Hari Minggu pagi. Jalanan kota terlihat masih basah. Lalu-lalang kendaraan tak seramai biasanya. Angin dingin pertanda akan memasuki musim gugur telah datang. Geum-Young menaiki sepedanya. Mengayuhnya dengan pelan. Sesekali angin menerbangkan blazer biru mudanya. Kepalanya menengok ke kanan-kiri, menikmati pemandangan kotanya yang belum lama ini ia tinggali. Tak banyak yang ia ketahui tentang Seoul. Karena Geum-Young telah menghabiskan tujuh belas tahun tinggal di Jinan. Tempat yang menyimpan banyak kenangan. Termasuk kenangan bersama Seung-Ho.
Geum-Young mengayuh sepedanya cukup jauh. Ia bahkan tidak tahu di mana dia sekarang. Ia menuntun sepedanya, tak lagi berada di jalan besar. Ia menatap cemas ke setiap etalase-etalase di sepanjang jalan yang ia lalui, berusaha untuk mencari petunjuk. Namun, bukan petunjuk tempat yang ia temukan. Melainkan hal lain. Ia melihat ada banyak bintang yang tergantung di etalase sebuah toko. Benda yang sama seperti yang pernah diberikannya pada Seung-Ho. Yang juga dimiliki oleh Min-Ho.
“Jadi, benar kata Hee Jin.”, katanya pada dirinya sendiri,”Aku pasti salah.”. Geum-Young kemudian meneruskan langkahnya. Sementara otaknya masih berpikir. “Jadi, selama ini aku salah mengenali orang? OMO[6]!! Memalukan sekali.”,
Ingatan itu kembali muncul. Saat ia melihat bayangan Min-Ho pertama kali, dan ia menyangkanya Seung-Ho. Saat ia ketahuan memandangi Min-Ho secara diam-diam, dan ia bertanya apakah Min-Ho mengenalnya. Saat itu, di ruang musik.
“Bodohnya aku. Bagaimana mungkin aku tak mengenali Seung-Ho. Bagaimana mungkin aku melihat orang lain sebagai dirinya. Aiisshhh.”, runtuknya sembari mengacak kasar rambut ikalnya.
Geum-Young sibuk dengan pikirannya sendiri hingga ia tak menyadari ketika sebuah mobil yang melintas di depannya menyerempet sepeda Geum-Young. Hampir saja, jika kedua telapak tangan besar tak mencengkeram lengannya cukup kuat. Saat ia menatap sosok pemilik telapak tangan itu, matanya benar-benar sulit untuk berkedip. Membuatnya terpaku.
************
 Mianhae[7], aku salah mengenalimu sebagai orang lain.”, kata Geum-Young takut-takut. Sedari tadi matanya masih menatap jalanan yang tengah dilewatinya.
“Ah, pantas saja kau selalu menatapku seolah kau mengenaliku.”, balas Minho.”Orang itu pasti sangat tampan. Karena kau bilang, dia mirip sepertiku.”, tambahnya. Geum-Young meliriknya sekilas. Kemudian mencibir.
“Dia….. jauh lebih tampan darimu.”, kata Geum-Young dengan penekanan di setiap katanya.
“Baiklah, terserah kau saja.”, Minho menyerah.”Oh! kita belum berkenalan secara resmi. Perkenalkan, namaku Kang Min-Ho.”, katanya sembari menyunggingkan seulas senyum dan mengulurkan tangan ke arah Geum-Young.
Sejenak Geum-Young ragu untuk menyambutnya. Ada sesuatu yang membuatnya harus menolak uluran tangan itu. Sesuatu yang mungkin akan membuatnya terjerumus dalam suatu hal yang rumit. Namun spertinya, hatinya tak mampu untuk menahan tangan Geum-Young.
“Choi Geum-Young.”, kata Geum-Young sembari membalas uluran tangan Minho.
Mereka saling melemparkan senyum. Kedua mata mereka berbinar. Lelaki itu bukan Kang Seung-Ho, tapi mengapa sorot mata mereka sama?


Tentu saja[1]
Apa yang kau bicarakan[2]
Hei[3]
Tidak mungkin[4]
Benarkah[5]
Astaga[6]
Maaf[7] (Non formal)
 

Geum-Young baru saja melangkah memasuki ruang kelasnya, sebelum seseorang memanggil namanya. Iapun menoleh. Kedua matanya menangkap sosok lelaki jangkung tengah tersenyum ke arahnya.
“Bisakah, aku menitipkan buku ini untuk Hee-Jin?”, tanyanya sembari mengangkat dua buah buku tebal dan menunjukkannya padaku.
“Baiklah.”, jawabku singkat, kemudian mengambil alih buku itu dari tangannya. “Kenapa tak kau berikan langsung padanya?”, tanya Geum-Young.
“Aku harus segera pulang.”, jawabnya. “Gomawo.”, lanjutnya, kemudian berbalik menjauh.
Geum-Young menatap punggung Min-Ho hingga sosoknya lenyap dari pandangannya. Entahlah, sepertinya Geum-Young masih canggung ketika berbicara pada lelaki itu. Mengingat kesalah pahaman yang menurutnya cukup memalukan. Geum-Young mengalihkan pandangannya. Ia seolah tengah mencari sosok Min-Ho dari tempatnya berdiri. Benar saja, ia menemukan sosok Min-Ho yang tengah berjalan tergesa memasuki sebuah sedan hitam yang kemudian melaju meninggalkan halaman sekolah.
*********
Min-Ho menapaki jalan setapak yang menuju bukit. Sunyi, tak ada siapun di sana kecuali gundukan-gundukan tanah yang menyisakan pilu. Dedaunan kering yang bertabur di atasnya terbang tertiup angin. Menyibak helaian rumput yang tandus terbakar mentari musim panas. Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah gundukan tanah dengan nisan batu perak berbentuk kotak. Ia mengelus gundukan yang tak lebih tinggi dari pinggangnya. Kemudian tersenyum.
Hyung, apa kau baik-baik saja?”, tanyanya pada seseorang yang berada dalam gundukan itu, seolah-olah ia dapat mendengarnya. “Aku membawakan benda kesayanganmu.”, lanjutnya sembari meletakkan sebuah gantungan kunci berbentuk bintang berwarna biru di atas gundukan tanah itu.
Selalu benda itu yang ia bawa setiap kali datang di peringatan kematian saudaranya. Pita warna biru yang dianyam menyerupai bentuk bintang. Hingga benda-benda seperti itu banyak terhampar di atas gundukan kuburan saudaranya.
Hyung, sampai sekarang aku masih penasaran dengan orang itu. Seharusnya kau menceritakannya lebih awal sebelum kau pergi.”, kali ini Min-Ho sedikit menggerutu.
Tiba-tiba saja ia mengingat hal-hal yang pernah diceritakan oleh saudaranya itu. Hal-hal yang membuatnya penasaran, dan selalu begitu. Saudaranya selalu membuatnya penasaran. Tentang sesuatu yang mungkin membuatnya terkejut.
**********
“Apa yang sedang kau lakukan?”, celetuk seseorang yang tiba-tiba muncul di samping Geum-Young. Geum-Young melompat kaget, dan nyaris menepis pot-pot yang ada di depannya.
“Astaga! Kau mengagetkanku.”, gerutu Geum-Young. “Apa yang kau lakukan di sini? Di mana Hee-Jin?”,
“Kenapa kau selalu menanyakan Hee-Jin? Apa kau menyukainya?”,
“Bukankah kau pacarnya? Kau ini aneh sekali.”, ledek Geum-Young sembari sibuk merapikan tanaman-tanaman di dekatnya.
“Hei! Apa ini?”, kata Min-Ho tiba-tiba. Geum-Young yang mendengarnya berbalik dan ikut menyaksikan kehebohan yang dibuat Min-Ho.
“Wah, assa assa! Ini jeruk mand[1]arin!”, pekik Geum-Young girang.”Ternyata sudah tumbuh, bukankah ini indah?”, tanyanya dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang.
“Bagaimana ini bisa tumbuh di sini? Bukankah ini masih musim panas?”,
“Entahlah, bahkan musim gugur akan segera tiba. Aku rasa, tanganku telah membuatnya dapat tumbuh meski musim gugur sekalipun.”.
Min-Ho diam-diam menatap gadis itu. Ia bahkan tak sadar ikut tersenyum ketika melihat ekspresi Geum-Young. Itu memang luar biasa. Bagaimana bisa tanaman itu tumbuh di akhir musim panas? Apakah ada sesuatu yang baik akan terjadi? Entahlah, Min-Ho sendiri juga tak tahu. Tapi sepertinya ia tahu satu hal, Geum-Young terlihat manis ketika ia tengah tersenyum seperti ini.
“Apakah kau yang merawat tanaman di sini?”, tanya Min-Ho.
“Tidak juga, aku hanya membantu mengurus tempat ini. Bukankah mereka sangat cantik ketika berbunga?”, jawab Geum-Young. Matanya mengitari setiap celah tempat itu.
“Ya, sangat cantik.”, balas Min-Ho.
***********
Geum-Young merogoh setiap isi kardus yang berada di gudang rumahnya. ia mengeluarkan setiap isinya, kemudian memerikasanya. Beberapakali ia terlihat terbatuk kecil karena debu-debu nakal yang menggelitiki saluran pernapasannya. Titik-titik keringat mulai muncul dari pelipisnya, ia mengusapnya dengan punggung tangannya. Tangannya berhenti mencari setelah matanya menangkap sebuah kotak berwarna biru muda yang warnanya sedikit pudar. Perlahan ia membukanya.
Sebuah tuts piano tua yang sedikit berlubang, sebuah lollipop yang masih lengkap dengan plastiknya namun telah sedikit berjamur, sebuah penjepit rambut berwarna biru muda, sebuah gantungan kunci, dan sebuah foto. Geum-Young memandangi benda-benda itu, bibirnya menaik membentuk seulas senyum. Ia mengelus gantungan kunci itu. Gantungan kunci yang persis seperti milik Min-Ho. Benda yang membuatnya mengira Min-Ho adalah Seung-Ho.
Geum-Young ingat ketika ia membuat benda itu pertama kali. Saat itu umurnya baru enam tahun. Tapi ia bisa membuat benda-benda seperti itu. Ibunya yang mengajari Geum-Young. tujuh belas tahun hidup di Seoul tak membuatnya menyadari bahawa benda-benda seperti itu ada banyak orang yang bisa membuatnya.
Di dalam foto itu terpampang foto seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang tengah membentuk huruf V dengan jari-jari mungilnya. Foto itu diambil ketika Geum-Young berumur tujuh tahun, sedangkan Seung-Ho delapan tahun. Seminggu sebelum Seung-Ho pergi. Entah mengapa ketika mengingat hal itu, dada Geum-Young terasa sesak. Ia yakin tidak menyimpan rasa yang lebih dari sekedar teman. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia menganggap Seung-Ho sebagai teman baiknya, tidak lebih. Namun ketika Seung-Ho pergi tanpa kabar, itu membuatnya sakit.
“Kang Seung-Ho, eodiga?”, gumamnya lirih.
************
“Hyung, benda apa ini?”, tanya Min-Ho pada kakaknya.
“Bukankah ini cantik? Seseorang yang memberikannya padaku.”, jawab kakaknya sembari tersenyum lebar.
Aigoo, kau harus cepat keluar dari tempat ini agar bisa bertemu dengan orang itu.”, keluh Min-Ho.
Min-Ho tersenyum kecut ketika teringat percakapannya dengan kakaknya. Matanya berair, ia berusaha untuk tersenyum. Saat ini, ia benar-benar merindukan kakaknya. Karena orang itulah yang selalu mengajarinya hal-hal baru. Kakaknya lah yang selalu membelanya ketika orang tuanya memarahi Min-Ho.
Hyung,….”, gumamnya sembari mengelus gantungan kunci milik kakaknya.
Penyakit itu telah menggerogoti sebagian syaraf pusat kakaknya. Setelah empat tahun lelaki itu bertahan, berjuang melawan penyakit ganas itu, ia berakhir di pembaringan terakhirnya. Di tempat yang asing, tanpa seorangpun di sisinya.
“Gadis itu, bagaimana kalau dia mencarimu? Kau bilang, kau akan mengenalkannya padaku. Hyung, aku pasti akan menemukannya.”,


[1] asik