Entri Populer

Sabtu, 27 September 2014

Pita Biru Part 2



Geum-Young berjalan di antara rak-rak yang menjulang tinggi. Di tangannya tengah bertengger beberapa buku yang—sepertinya—membuat Geum-Young kesulitan menjangkau rak-rak yang lebih tinggi. Ia berusaha berjinjit dan mengulurkan tangannya lebih tinggi.
“Tubuhmu terlalu pendek untuk menjangkau rak itu.”, celetuk seorang lelaki di belakangnya.
Geum-Young menoleh. Kedua matanya menangkap sosok lelaki berperawakan tinggi dengan rambut cokelat ikal. Lelaki yang tidak lain adalah Seung-Ho.
 “Astaga! Kang Seung Ho.”,
Geum-Young terperanjat melihat sosok yang kini tengah menatapnya. Dia—Kang Seung Ho—menatapnya. Sungguh, jangtungnya tengah melompat kegirangan. Sudah berapa lama ia tak melihat lelaki itu?
“Kau seperti orang gila.”, kata Seung-Ho datar. Kemudian ia berbalik dan melangkah menjauh.
Seketika itu juga, lamunan Geum-Young buyar. Ada rasa kecewa yang ,menyelinap di kalbunya. ‘Apakah dia tak mengenaliku?’
Geum-Young mengerjapkan kelopak mata cantiknya beberapa kali. Seolah memastikan yang di depannya itu adalah Kang Seung-Ho. Kang seung-Ho yang ia kenal. Matanya kembali terpaku pada sosok di hadapannya ketika lelaki itu mengulurkan tangannya menuju rak yang sama seperti yang ia tuju.
Meski tujuh tahun telah berlalu, Geum-Young sama sekali tak pernah melupakan sosok yang kini tengah berdiri di depannya. Ia begitu yakin, karena pita biru itu. Karena pita itu, ia yang membuatnya untuk Seung-Ho. Sebagai hadiah tahun baru. Namun sepertinya, ingatan itu hanya milik Geum-Young.
“Apa kau sedang terpesona dengan ketampananku, nona?”, tanya Seung-Ho dengan penekanan di akhir kalimatnya, yang sontak membuat Geum-Young tersadar dari lamunannya
“T-tidak. Kenapa aku harus terpesona.”, katanya gugup. Kemudian menyahut sebuah buku di tangan Seung-Ho.”Terimakasih atas bantuanmu, tuan.”, lanjut Geum-Young dengan sedikit ledekan.
Geum-Young berbalik dan berjalan mejauh. Sejak hari itu—hari pertamanya melihat Seung-Ho, lagi—Geum-Young menyimpan ribuan kata yang hendak ia lontarkan pada lelaki itu. Tapi, ia terpaksa harus menahannya kembali. Karena Seung-Ho tak melihatnya sebagai orang yang ia kenal, tapi orang lain.
Angin dingin khas musim panas berhembus begitu lembut. Bercumbu dengan keramaian malam kota Seoul. Membawa aroma makanan milik para pedagang di pinggiran jalan. Malam belum begitu larut ketika Geum-Yong melangkahkan kakinya keluar dari bus yang ia tumpangi. Kakinya kembali melangkah, menyusuri trotoar di sepanjang jalanan kota. Ia menengadahkan kepalanya. Menatap gelapnya langit malam yang begitu pekat. Tanpa taburan bintang dan senyum sang bulan.
“Ah, aku merindukanmu, bintang.”, gumam Geum-Young. Kedua kakinya masih melangkah lurus. Namun, kepalanya lebih suka menunduk dan menatap trotoar yang ia pijak.
DUKK! Geum-Young terhuyung ke belakang. Hampir saja ia terjatuh, namun kedua kakinya cukup kuat untuk menahan tubuh mungilnya. Tak sengaja ia menabrak seorang pria tua. Membuat kantung plastik –milik orang itu—dan beberapa barang di dalamnya jatuh di atas trotoar
Chosongeyo, Ahjussi.[1]”, katanya sembari menundukkan seperempat tubuhnya beberapa kali pada pria paruh baya di depannya. Kemudian ia memunguti barang-barang yang tercecer di bawahnya.
Geum-Young menyerahkan kembali kantung plastik itu. Sedangkan pria paruh baya itu hanya tersenyum pada Geum-Young, kemudian berlalu. Kantung plastik yang dibawanya bergoyang-goyang karena tertiup angin yang semakin kencang. Geum-Young menatap lelaki itu hingga sosoknya menghilang di balik sedan hitam yang terparkir di depan sebuah apotek, tak jauh dari tempat Geum-Young berdiri.
“Aiiissh, Choi Geum-Young, apa yang sedang kau pikirkan?”, tanyanya pada diri sendiri. Kemudian ia kembali berjalan menjauhi tempat itu.
Tiba-tiba saja sebuah ingatan berkelebat di benaknya. Ia merasa pernah melihat pria itu sebelumnya. Entahlah, Geum-Young sendiri tidak begitu yakin. Ia mencoba mengingatnya kembali. Berusaha mengorek lebih dalam ingatannya. Matanya melebar begitu mengingat lelaki itu.
Geum-Young berdiri di samping tembok yang tak jauh dari kantor guru. Ia menyembulkan kepalanya, tapi menahan tubuhnya untuk tetap bersembunyi di balik tembok itu. Matanya tak henti-hentinya mengawasi pintu ruang guru. Tiba-tiba saja, seorang pria paruh baya keluar dari ruangan itu bersama dengan seorang anak lelaki di sampingnya. Anak itu menunduk lesu. Sedangkan pria paruh baya itu mendekapnya dengan sebelah tangan.
Geum-Young terus menatap kedua orang itu hingga akhirnya mereka menghilang di ujung koridor. Geum-Young berlari dari tempatnya berdiri. Ia berlari ke arah kedua orang tadi berjalan, hingga akhirnya kedua kakinya melangkah ke halaman sekolah yang luas. Matanya kembali menangkap sosok kedua orang itu, hendak memasuki sedan hitam yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Seungho-ya[2]! Eodiga[3]?”, teriaknya. Membuat anak laki-laki itu menoleh ke arahnya. Anak itu tampak terkejut melihat Geum-Young. Kemudian ia berlari kecil ke arahnya.

“Aku mau jalan-jalan sebentar. Kau tidak boleh ikut denganku, Geum-Young.”, jawab Seung-Ho polos.
“Jalan-jalan ke mana? Apakah lama?”, tanya Geum-Young lagi.
“Entahlah, tapi kau harus menungguku sampai aku pulang.”, jawab Seung-Ho. Kemudian ia mengeluarkan sebuah tuts piano dari dalam sakunya.”Maaf, aku sudah menyembunyikan ini darimu. Sekarang aku kembalikan padamu.”, katanya sembari mengulurkan benda itu pada Geum-Young.
Geum-Young masih berdiri di sana. Menatap mobil yang ditumpangi oleh Seung-Ho hingga menghilang dari pandangannya. Seung-ho bilang, dia hanya jalan-jalan. Tapi entah mengapa Geum-Young tidak merasa sepertinya Seung-Ho berbohong kepadanya. Hingga akhirnya ia menyadari, Seung-Ho tidak pergi jalan-jalan. Karena ia tak kunjung datang menemuinya.
Hembusan angin musim panas yang hangat membelai lembut rerumputan yang ada di halaman belakang sekolah. Menerbangkan dedaunan kering yang saling bergesekan. Membawa aroma manis buah murbei yang sudah mulai masak.
Geum-Young duduk di sebuah kursi di bawah pohon fig. Tangan kanannya nampak sedang menyuapkan donat ke dalam mulut. Sedangkan tangan kirinya memegang sebuah buku tebal yang berisi kalimat-kalimat yang panjang. Matanya asik memelototi setiap kata pada bukunya. Kali ini ia menatap ke arah jalan yang tak begitu jauh darinya. Lagi-lagi ia menangkap sosok itu—Kang Seung-Ho—bersama dengan seorang gadis. Jelas-jelas Geum-Young mengenali gadis yang saat ini tengah berjalan bersama Seung-Ho. Ia sering sekali melihat mereka berdua berjalan bersama. Tapi ia sama sekali tak tahu apa-apa mengenai mereka berdua.
“Ada apa dengan mereka berdua? Sepertinya mereka sangat dekat.”, katanya sembari membersihkan remah-remah donat yang menempel di bibirnya.
Geum-Young terus memperhatikan kedua orang itu. Hingga ia menyadari bahwa mata elang Seung-Ho tengah menatap ke arahnya. Geum-Young salah tingkah. Buru-buru ia membereskan bekal makan siangnya dan berjalan meninggalkan tempat itu. Ia terkejut begitu mendegar seseorang memanggilnya.
“Yak! Kenapa kau selalu menatapku seperti itu?”, tanya orang itu. Geum-Young tahu siapa orang itu, tanpa ia harus membalikkan badannya terlebih dahulu.
“A-apa maksudmu dengan ‘menatap seperti itu’?”, tanya Geum-Young setelah ia berbalik. Jelas- jelas ia terlihat gugup.
“Ck, setiap kali kau melihatku, kau selalu menatapku seperti itu. Seakan terpaku. Apa kau menyukaiku?”, tanya Seung-Ho lantang.
“Jangan terlalu percaya diri seperti itu. Bagaimana bisa aku menyukaimu?”, elak Geum-Young. Ia merasakan, saat ini pipinya sedang memanas.
“Minho-ya, apa yang sedang kau lakukan di sini?”, celetuk seorang gadis yang tiba-tiba menepuk bahu Seung-Ho.
Kami—aku dan Seung-Ho—menoleh. Gadis yang kudapati sering bersama Seung-Ho kini tengah berdiri di sampingnya. Kedua tangannya melingkar di lengan panjang Seung-Ho, membuatku menaikkan sebelah alisku. Kenapa dia memanggilnya Minho?
“Minho?”, tanyaku tak yakin. Berusaha memastikan apa yang baru saja ia dengar.
“Ya, Kang Minho. Wae[4]?”, tanya gadis itu sinis.
“B-bukankah dia Kang Seung-Ho?”, Geum-Young  memastikan lagi.
“Apa kau tak melihat ID di rompiku? Namaku Minho. Bukan Seung-Ho.”, jelas Seung-Ho sembari menunjuk ID di rompinya.
Kedua mata Geum-Young mengikuti jari telunjuk Seung-Ho. Benar, di sana tertulis Kang Min-Ho. Bagaimana bisa? Bukankah waktu itu Ia melihatnya sendiri, pita biru yang tergantung di tas sekolah lelaki itu. Geum-Young hanya membuatnya untuk Seung-Ho. Tapi kenapa orang di depannya yang baru saja ia ketahui bernama Min-Ho bisa memiliki benda itu. Geum-Young tak sadar telah menatap ID milik lelaki itu sangat lama, dengan tatapan tak percaya.
“Hei, jangan menatap kekasihku seperti itu.”, kata gadis di samping Min-Ho.
Nada bicaranya biasa saja, datar dan tak begitu lantang. Namun, entah mengapa gendang telinga Geum-Young bergetar begitu kencang. Seolah baru saja terdengar suara yang begitu luar biasa mengejutkan. Matanya melebar. Lidahnya kelu. Ini pasti salah. Seung-Ho yang ku kira adalah Min-Ho, kekasih Hee Jin.
“Kau tak mengingatku?”, tanya Geum-Young tiba-tiba. Sorot matanya berubah. Tak ada senyuman yang tergambar ketika ia menatap mata lelaki itu.
“Apa maksudmu?”, tanya Hee Jin yang mulai tak sabar dengan sikap Geum-Young.”Sudahlah, jangan mengganggunya lagi.”, tambahnya, kemudian menarik lengan Min-Ho dan menjauh dari tempat itu.
Sementara Geum-Young masih berdiri di sana dengan posisi yang sama. Matanya menatap kepergian dua orang itu. Otaknya masih belum mampu menerima apa yang dikatakan Hee-Jin. Min-Ho? Kekasih? Tunggu dulu, tapi mengapa ia harus kaget ketika mendengar kata ‘kekasih’? Bukankah tak ada hubungan yang lebih dari sekedar sahabat di antara mereka berdua? Entahlah, yang jelas ia yakin bahwa orang yang selama ini dikiranya Seung-Ho benar-benar Seung-Ho. Ia bahkan dapat mengenali Seung-Ho hanya dengan melihat bayangannya di tangga. Tapi, bagaimana bisa orang itu mengatakan bahwa dia adalah Min-Ho? Apakah dia hilang ingatan.
Tiba-tiba saja, Geum-Young merasa rumput-rumput di taman itu bergoyang seolah sedang menertawakan dirinya. Menertawakan kebodohannya.


Maafkan aku, Paman[1] (Formal)
Panggilan untuk orang dekat(berakhiran huruf vokal)[2]
Mau ke mana[3]
Kenapa[4]