RINDU di bawah
HUJAN
Aku selalu menatap tempat itu ketika
aku sendirian di sini. Di ruang keluarga yang sunyi. Sendirian, tanpa ada yang
mengajakku bicara. Terbesit suatu ingatan. Dulu di situ, di depan tembok tepat
menghadap ke arah televise. Kami sekeluarga—aku, ibu, dan ayah—selalu menonton
bersama. Bercanda, dan tertawa bersama. Namun, sayang sekali. Kini semua itu
tinggallah kenangan. Semenjak ayahku pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Tawa itu perlahan menghilang, berganti dengan air mata kehilangan. Meski aku
berusaha untuk tegar dan tidak menangis, air mata ini diam-diam menyelinap ke
luar dari tempatnya.
“Ayah, hari ini hujan. Bagaimana di
sana? Apa baik-baik saja? Hari ini, di sini matahari sama sekali tak ingin
keluar. Udara terasa begitu dingin. Maaf, karena aku belum bisa menjadi anak
yang baik untukmu. Tapi, aku janji akan memperbaikinya. Aku akan menjaga ibu.
Aku dan ibu pasti akan makan dengan baik, hidup dengan baik, dan beribadah
dengan baik. Dan, kami akan selalu mendo’akan Ayah. Jangan hiraukan air mata
kami. Kami sudah ikhlas dengan kepergian Ayah. Semoga Allah mendengar do’aku
untuk ayah.”
Sepertinya, kata-kata itu tak akan terucap dari
mulutku. Aku hanya akan menulisnya. Aku tak ingin orang lain mendengarnya dan
bersedih karena itu.